Kamis, 11 Maret 2010

Jatuh Bersama Hujan

Hujan turun, membasahi seluruh kota, rumah-rumah yang berdiri diatasnya, tanah-tanah terbuka, sarana umum, kendaraan-kendaraan, orang-orang, juga tubuhku. Tapi kau tahu, aku tak di kota itu? Sendirian, tertawa. Dimana aku? Aku ada ditengah hujan, mengamati kota kelahiranku, namun tak ada didalamnya. Ketika kau bertanya lagi: ‘Dimana?’, seharusnya kau mengerti bahwa aku juga tak tahu. Diatas langitkah? Mungkin saja. Aku ingat kala aku akan tidur, mohonku pada Pencipta Langit dan Bumi, agar ia sudi mengusir segala penat ini dari dalam diriku. Sudah lama aku mengalami keterpurukan dalam menjalani hidup yang—katanya—indah ini.

Kini akhirnya aku bisa tertawa, ditengah hujan, di sebuah tempat yang tak kutahu apa: lebih mengerikan daripada tak tahu kau ada dimana, bukan? Harusnya seperti itu, namun terbasahi oleh air langit yang ini seperti kokain buatku, segar dan menyenangkan. Kau bisa bayangkan bukan, kala dirimu terperangkap terlalu lama dalam sunyi, dan otak serta akalmu menjadi buntu? Kau dapat membayangkan betapa tidak enaknya menjadi seperti itu, bukan? Namun kala aku melihat seluruh kota ini: kota kelahiranku ini dari atas, bersama air hujan yang turun kebawah, layaknya menghujam kota itu, menyaksikan orang-orang berlarian tak tentu arah, membuatku tak ingin berhenti tertawa walau sudah tak ada yang lucu.

Ah, hujan, hujan, hahaha. Saat melunturkan segala yang panas dan rusak dari dalam otakku, dan tetesan air itu ikut masuk kedalam hidungku kala kucoba menarik napas terlalu dalam, aku merasakan kebahagiaan yang sangat besar, sangat hebat: terlalu bahagia bisa berbahaya juga, bukan? Biarlah.
Kini aku menyapu pandanganku pada langit gelap diatasku, sumber jatuhnya jutaan liter air itu, tersenyum kala jarum-jarum basah itu masuk kedalam kedua mataku. Aku berteriak dan berputar. Tak berhenti, rasanya tak ingin berhenti. Sungguh, ini adalah kesengangan yang fantastis! Menderu jantungku kala kurasakan kepala ini mulai pening. Tapi tetap saja, menyenangkan. Aku bahkan tak yakin kalau surga nantinya akan semenyenangkan ini.

Dapatkah surga melantunkan deru air yang monoton ini terus-menerus? Dapatkah surga terus-menerus membasahi rambut panjangku dengan tombak-tombak kecil menyenangkan itu? Dapatkah surga membuat air selalu menetes dari ujung hidung dan daguku? Aku tertawa renyah saat memutar pertanyaan itu dalam otakku. Hahaha, entahlah, semoga surgaku nanti seperti itu.

Melihat lagi kebawah, kulihat kota mulai ricuh: sebuah gedung meledak! Ironis, ya? Ini hujan, sedang hujan, mengapa gedung itu meledak? Bayangan tentang gedung yang meledak dan kemungkinan ratusan korban didalamnya membuat kesenangan dahsyat ini sedikit mengendur, tapi, setelah berdoa sedikit semoga tak terjadi yang lebih parah pada Sang Pencipta Hujan, aku mulai berputar lagi diatas sini. Pantas saja bumi dan seluruh susunan tatasurya tak berhenti berputar. Pantas saja, berputar kan sangat menyenangkan.

Namun, setelah berjam-jam tak berhenti tertawa, berjingkrak, dan berputar, aku lelah dan menjatuhkan diri pada permukaan datar tak terlihat tempatku berdiri. Dan tawaku mulai tertahan. Aku mulai mencoba mengatur napasku. Senyuman masih merekah dan semangat masih meletup, serta udara masih dingin. Hujan juga masih turun, belum mau berhenti. Hey, disini sepi, ya? Bukannya memang begitu? Hanya aku sendiri disini. Hanya aku yang dikarunia kesempatan berdiri bersama hujan. Hanya aku. Tapi mengapa?

#

Malam mendekati pagi. Dini hari. Aku masih saja menatap keluar lewat jendela. Duduk diatas kasur, menikmati, ya, itu: hujan. Aku yang sudah beberapa hari itu tak mengganti piyamaku dengan susah payah tetap terduduk, walaupun sebenarnya sangat menyakitkan: tulang punggungku rasanya mau patah saja. Aku sudah menderita yang seperti ini; punggung sakit, batuk tak henti, mata selalu merah, napas sesak, susah berbicara, selalu linglung, sejak usiaku menginjak 20 tahun. Huft, berarti sudah dua tahun sejak saat itu. Dan aku selalu terhibur kala langit meneteskan airnya. Oh, sungguh indah, menentramkan, damai …

Ibu selalu bilang padaku, terutama saat aku masih remaja, sebelum jatuh terbaring ditempat tidur karena sakit, bahwa hujan adalah sumber kehidupan, terjangkau oleh semuanya, tak seperti sungai atau danau yang hanya mengaliri dan berada ditempat-tempat tertentu saja. Sambil bilang begitu, Ibu selalu menyusupkan tangannya yang hangat kedalam pakaianku, dan mengusap punggungku yang dingin. Apakah panas tubuhku tak seperti manusia lainnya? Mungkin, karena aku selalu merasa kedinginan.

Namun, kala hujan, aku merasa seolah aku adalah dinginnya hujan itu sendiri. Apakah aku bidadari hujan? Ah, khayalan itu, lagi-lagi menyeruak keluar dari memori masa kecil yang seharusnya sudah hanya kujadikan sebagai nostalgia saja. Kadang, bukan kadang, selalu, aku selalu tertawa sendiri saat petir yang berkilat itu menyilaukan mata dan memekakkan telingaku. Apakah nyawaku ada pada hujan? Ah, omong-kosong itu lagi.

Hujan masih membasahi kaca jendelaku dan membuat seluruh kamarku yang gelap berderu indah. pikiranku melayang ke sumbernya: langit yang tak memiliki tepi itu. Aku yang sakit ini seharusnya tak usah bertindak macam-macam, namun kecintaanku pada hujan membuatku ingin merasa bersatu bersamanya. Aku, dengan keinginan besar yang mungkin bisa disebut kebodohan, membuka jendela dan membiarkan angin kencang serta serbuan tetesan air membasahi seluruh wajah, tubuh, dan ranjangku.

Kepalaku. Tiba-tiba kepalaku merasakan sakit luar biasa. Sakit. Mengerikan memang, kala kepalamu tiba-tiba terasa sakit, dan separuh kamarmu basah oleh hujan, dan kau tak tahu apa yang harus kau lakukan karena bahkan berdiripun kau tidak bisa. Dan celakanya lagi, aku yang mengalami hal itu menikmatinya! Celaka, pikirku kala itu, mengapa terasa menyenangkan? Ini derita, kan?

Sampai akhirnya Ibu datang kekamarku. Mungkin karena mendengar deru keras didalam rumahnya. Tapi Ibu biasanya takkan terbangun pada malam hari walau ada suara sekeras apapun. Tak tahu juga mengapa ia bisa datang. Yang jelas Ibu menjerit karena aku menatap kosong pada jendela yang terbuka, dengan hujan deras mengguyur, atau mungkin juga bisa disebut menenggelamkan wajahku. Aku saat itu merasa sakit, namun tak dapat menampilkan ekspresi apapun: aku-kosong. Ini-karena-hujan.

Sejak saat itu, Ibu melarangku melihat hujan lagi. bahkan ia memindahkan kamarku ke ruangan yang ada di tengah, dengan jendela menghadap ruang keluarga: tak ada pemandangan luar, tak ada pemandangan hujan, tak bisa melihatnya lagi.

#

Kau tahu? Suaraku teredam oleh deru air ini, yang semakin lama semakin deras. Suhu tubuhku yang tak seberapa panas, tentu saja tak dapat kurasakan lagi. aku terlalu lama bersama hujan ini. Aku terlalu lama menjadikan diriku bagian darinya. Aku terlalu lama berada dalam kondisi yang lebih kusukai daripada hanya sekedar sehat dan berekreasi. Kini aku sedikit merasa tidak nyaman. Senyumku hilang.

Aku mencoba mengingat kembali, mengapa aku ada disiini, mengapa hanya aku?

#

Hujan deras tadi sore.
Aku yang terduduk diam sendirian membungkam diri dengan bantal, menjerit sekeras-kerasnya, seakan mau meledak. Kenapa? Biasanya aku tak pernah begini. Mungkin karena tak pernah lagii melihat hujan. Entah hujan yang semakin deras, atau hanya suaranya saja yang memenuhi kepalaku: derunya yang indah, bunyi tik tik-nya, nuansa buram dan kelam, energi dingin, kehidupan yang berkesinambungan, pencerahan, suatu ledakan mental… hujan milikku. Itu yang kurasa. Sampai akhirnya ketika aku sadar bahwa nadi ini masih berdenyut, aku berada diatas kota ini, menjadi bagian dari hujan itu sendiri.

Dan kini, rasa tersiksa menyergapku. Aku mengap-mengap diatas sini, sulit bernapas. Sesak. Sesak. Kepalaku. Mencair? Tidak, tapi itulah yang kurasakan. Apakah hujan menolakku menjadi dirinya?
Aku tak tahu, mengapa rasa cintaku pada hujan saat ini malah menjadikan diriku termakan oleh kekuatannya yang dahsyat.

#
Hujan memanggilku kala itu, membuatku terseret masuk kedalamnya, menari bersamanya, merasa gembira. Itu kan tadi. Lalu sekarang? Tubuhku dingin luar biasa, lalu berubah menjadi rintik hujan itu sendiri.

#

Kala aku telah jatuh, menabrak bumi, seakan ada suatu gaya magis, diriku membaur bersama puluhan orang: mengamati gedung yang baru meledak itu. Bagian atasnya, hampir separo gedung itu telah hitam, hancur. Kulihat seorang wanita paruh baya terisak keras, berteriak-teriak histeris kepada para petugas pemadam kebakaran.

“Aku… tadi, kala aku keluar, keluar, ke, ke sebuah minimarket didekat sini, aku mendengar suara ledakan besar. Aku, aku, berlari melihat apa yang terjadi, sampai akhirnya, sampai akhirnya aku menemukan apartemen ini terbakar! Kalian tahu!? Kalian tahu!? Tempat tinggalku ada dilantai paling atas gedung ini, dan disana, disana, anakku, anak perempuanku satu-satunya … anak perempuanku satu-satunya, yang sedang sakit, ada disana. Aku menyayanginya, kalian tahu? Aku menyayanginya. Tapi, ia seakan-akan lebih menyayangi hujan. Aku tahu, kini ia, ia, pasti sudah ikut hancur bersama ledakan barusan.”

Aku terhenyak kaget, lalu berteriak keras walaupun aku tahu tak mungkin ada yang bisa mendengarku, “Aku tidak hancur bersama ledakan itu, Ibu! Aku kini menjadi hujan. Kau bisa melihatku turun ke bumi setiap hujan turun!”

Hujan mulai reda.

Malam

Malam masih duduk di tempatnya sekarang, di kaki langit: menunggu gilirannya melengkapi waktu. Ia terdiam. Hari masih senja, belum gilirannya. Ia baru saja bersiap menghitamkan langit seperti biasa. Sejak jutaan tahun selalu saja begitu. Alam memang memberikan tugas itu padanya. Dan nanti, sekitar satu atau dua jam lagi, ia akan menggelapkan semuanya. Selalu saja seperti itu, dan ia tak pernah mengeluh atas mandat ini: memang takdirnya.

Langit masihlah berwarna jingga. Awan-awan kelabu juga bertengger, membentuk onggokan gunung-gunung langit diatas sana, mempercantik angkasa. Burung-burung terbang kembali ke sarang mereka. Anak anak kecil juga begitu, dengan teriakan orang tua mereka dari dalam rumah, atau pekikan pelan pembantu yang kelelahan setelah bekerja seharian, atau dijemput langsung, mereka semua pulang ke rumah-rumah mereka setelah selesai bermain atau mungkin mengikuti kursus sana-sini. Para pekerja kantoran atau buruh-buruh pabrik pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing, melepas penat dan menunggu Malam datang bersama kegelapannya, melelapkan setiap orang. Dari dulu selalu saja begitu. Memang banyak perubahan dalam gaya hidup masyarakat sekarang, tapi selalu saja semuanya sama: istirahat ketika hari menggelap, walaupun beberapa kelompok tetap saja terbangun.

Malam menggeliat sejenak. Tangan hitamnya yang besar haruslah memadamkan langit: sekarang, menurut jarum jam alam, adalah waktu kerjanya. Akhirnya ia melompat dari tempatnya kini duduk, mengusir warna jingga dari langit, menggantinya dengan ungu tua. Belum larut. Kakinya dengan cekatan melompat dari lapisan udara satu ke yang lain, dan tangannya yang seolah-olah kuas itu menebarkan ketenangan bersama gelap. Malam telah tiba. Ini adalah tugasnya. Selalu saja menjadi tugasnya.

Telah sempurna. Langit telah sepenuhnya hitam, namun manusia masih saja ada di luar. Tidak seperti dulu, batin Malam, kini kehidupan telah berubah. Saat ini malam duduk diatas langit, merajai waktu untuk sementara sampai pagi datang. Kepalanya mengadah keatas, ke kegelapan abadi, yang tak bisa dijangkau mata manusia kecuali dengan menggunakan peralatan-peralatan modern. Ia mengadah ke luar angkasa. Bertanya-tanya ia dalam hati, sebegitu lamakah umurnya? Berapa ribu abad ia selalu bersama langit dan tugas ini, menampakkan buintang-bintang, membantu bulan bersinar, memberi kehidupan pada para nokturnal, dan memberi waktu istirahat pada makhluk-makhluk lainnya? Ah, sudah berapa lama?

Kadang sendiri ia berpikir, mengapa ia tak pernah bosan dengan tugasnya yang ini-ini saja: menggelapkan langit. Gelap? Identik dengan keburukan, bukan? Apakah ia memperburuk langit? Tidak, langit indah karenanya, dan Siang tak bisa menampilkan keindahan langit pada setiap orang, karena banyak dari mereka yang merasakan panasnya. Namun duduk memandangi langit pada malam hari, bukankah itu sebuah kedamian? Ah, tidak, dia tidak memperburuk langit.

Lalu ia berpikir, tidakkah kegelapannya berarti membuat segalanya tak terlihat? Ya, kadang dia berpikir seperti itu. Tapi bukankah segala sesuatu harus punya penutup? Karena tak ada lagi keindahan mutlak. Bahkan manusia bisa saling bunuh apabila suatu perkara diperjelas. Ya, perannya adalah sebagai tabir dari hal-hal yang tidk perlu diketahui oleh sesuatu yang lain.
Kegelapannya membuat manusia lelap. Tidak juga. Banyak dari mereka yang senang akan kegelapannya.

#

Sebuah guncangan di belahan dunia membuat Malam tersentak dari ingatannya yang indah itu. Ia, dari atas langit, tempatnya saat ini, tahu apa yang terjadi: manusia lagi-lagi membantai sesamanya. Lihatlah negara yang indah itu. Telah sering tanahnya dijatuhi peledak, telah habis bersih wilayah itu digempur, telah banyakj terluka rakyatnya, telah meredup harapan mereka akan kedamaian. Siapa? Yang melakukannya? Ahh, biang kekacauan masihlah sama sejak enam puluh tahun yang lalu: negara tetengganya. Tetangga? Siapa mengizinkan negara tetanga itu menduduki wilayah mereka? Tak ada. Maka itulah, manusia-manusia yang lebih buruk dari seburuk-buruknya hewan itu mengambil teritori negara itu. Untuk diduduki? Ah, apapun alasannya, tetap saja.

Malam tak memutuskan untuk menapki bumi untuk menyaksikanperistiwa itu. Buat apa? Selalu begitu, kan?

Malam tahu benar, inilah manusia. Dari dulu tetap sama: untuk kekuasaan, apapun dilakukan. Meratap ia mengadu pada Mahakuasa tentang makhluk-makhluk yang ia naungi dengan kegelapan untuk beristirahat, kelam tubuhnya memang selalu begitu, namun sejatinya dengan perannyalah manusia dapat bercahaya, dalam waktu bersamaan mereka juga kelam.

Di belahan bumi lain, gemerlap mewah kesenangan orang-orang kaya juga tetap begitu: glamor dan menggiurkan. Malam tahu perannya bukan saja untuk menidurkan makhluk-makhluk kelelahan. Ia juga membangunkan manuisa-manusia, sebagian mensyukuri kehidupan dan karunia yang diberikan olehnya dengan mengadahkan kepalanya pada yang Mahakuasa, memunajatkan dan melantunkan doa-doa dan permohonan ampun, khidmat dan khusyu’ dalam kesunyian dan kesendirian, berdua saja dengan penciptanya. Sebagian lagi, dengan ‘dalih menikmati’ yang diberikan kepada mereka dari penciptanya, bersenang-senang dengan cara yang kelihatannya tidak kotor. “Bukankah berpesta pora adalah salah satu cara mensyukuri malam?”, dalih mereka.

Malam selalu suka dengan orang-orang pertama, yang tidak melepas ikatan mereka dari sang pencipta, melakukan apa yang ia perintahkan. Dan Malam, atas kegelapan yang diberikan Alam kepadanya, menyayangkan kelakuan buruk manusia pada waktu ia bertengger diatas langit, melaksanakan mandatnya.

Ah, kadang ia juga menyaksikan betapa tidak nyenyak tidur mereka yang kelaparn didalam dirinya, dan kadang bermimpi mendapat makannan dari para penguasa itu. Para penguasa itu? Heh, mereka bisa apa? Menyengsarakan rakyat? Sudah kodrat mereka, barangkali?

Malam, dengan kelembutanya selalu merasa marah atas fenomena sosial seperti itu. Namun ia ini apa? Ia hanya kegelapan sunyi yang hanya bisa begitu. Perannya itu-itu saja.

Tapi sungguh berlama-lama dalam kegelapan dan jati diri sebagai kegelapan itu sendiri membuat Malam merindukan saat-saat ia bercahaya dahulu. Ya, ia pernah bercahaya. Cahaya yang indah, jauh lebih indah dan menentramkan daripada sinar mentari atau bulan yang bersinar didalam dirinya. Cahaya itu adalah cahaya Malam: cahaya yang dipancarkan oleh sang Malam itu sendiri.

#

Ratusan tahun lalu, saat belum ada gedung-gedung pencakar langit, belum ada sarana komunikasi sepraktis saat ini, belum ditemukannya tekhnologi mutahkir, belum maraknya pengobatan modern, belum banyaknya mobilitas manusia, di saat tugasnya, Malam tidak duduk dilangit. Tak seperti biasanya, ia mendekati permukan bumi. Heran ia kala merasakan tubuhnya selalu bercahaya, padahal Alam telah memberi kodrat gelap padanya.

Aura apa? Aura apa yang membuatnya begini? Entahlah, maka itu ia mencari tahu. Ditelusurinya setiap jengkal tanah, memutari seluruh petak planet ini. Semakin ia mencari tahu, semakin ia tak tahu, semakin ia bercashaya. Kenapa? Kenapa? Ia tak tahu: belum juga tahu.

Tapi semakin lama, suara pelan yang sedari tadi tanpa ia sadari mengusiknya, kini bertambah keras. Suara-apa? Terdengar seperti...munajat. ya, munajat-munajat itu terlantun dari bibir ribuan orang diseluruh dunia, dengan warna kuli, kebangsaan, bahasa, dan aksen yang berbeda. Munajat-munajat itu terbang tersampaikan ke langit, bercahaya, membuat malampun bercahaya: cahaya yang tidak terlihat oleh mata, tapi menentramkan.

Ah, Malam merasa bangga dengan perannya, karena dibalik kegelapannya, cahaya hati mengudara, menyibak tabir hitam, menembus langit, tersampaikan pada Tuhan. Alunan munajat itu semakin keras, menentramkan hatinya yang hitam. Hitam, namun bercahaya. Suara pemanggil Tuhan itu bergerombol membentuk jutaan garis putih, berpusat pada satu titik diatas langit, membuat segalanya terlihat benderang. Malam merasa jauh lebih bercahaya daripada Siang. Indah, menggetarkan.

#

Itu dulu, kala bumi masihlah terlihat gelap karena minimnya penerangan, saat mayoritas manusia masih ingat dalam arti sesungguhnya pada Penciptanya, saat aliran keajaiban masih memenuhi atmosfer. Saat ini, kala penerangan membuat mata selalu mengerjap, kala segalanya tak lagi tertabiri oleh gelap, Malam merasa kehilangan cahayanya, cahaya yang menjadi jati dirinya.