Senin, 20 April 2009

Entri-entri sebelumnya dihapus karena....

Aku ingin melepas dulu semua Entri yang berbau lawak, karena beberapa alasan....
Namun semua itu disimpan diarsip, hanya sebatas nostalgia......

Minggu, 19 April 2009

Hikayat Tulang Kambing, Pasar dan Ibu

Nenekku dari pihak Ummah adalah seorang wanita 55 tahun. Cukup muda bagi seorang nenek 8 cucu, dan cucu pertamanya berumur 16 tahun. Beliau bernama Tien—baca: ‘Tiin’, bukan ‘Tien’ seperti nama enci-enci.--, dan aku memanggilnya ‘Ibu’. Kakekku seorang jawa, namanya Arisman. Aku memanggilnya ‘Ayah’. Beliau sudah meninggal pada 21 desember 2007.

Ketika adik keenam-ku lahir, Ibu datang ke Depok, mengunjungi cucu kecilnya. Sudah beberapa hari beliau disini, menemani Ummah-ku, juga menjaga si Adik.

Kemarin, Ummah menyuruhku pergi ke pasar kemiri, pasar terbuka dengan segala tetekbengek kehidupan manusia dan kematian para ayam, kambing, sapi, serta ikan. 100 meter dari rumahku ada pasar tertutup, bersih, tidak terlalu bau pasar, namun harga daging tidak bersahabat. Kalau di Kemiri harga ayam Rp.14.000 , disana, Pasar Baru namanya, bisa mencapai Rp.22.000. Opo ora’ edhan!?

Ibu ikut, segaligus sebagai penawar harga, dan peranku hanya pengantar serta kuli panggul. Tapi, kuli panggul ini tidak kalah necis dari orang kantoran. Dengan membawa sisir berbi -- sisir boneka Barbie adikku yang kucolong untuk sisir betulan-- setelah menyisir rambut gaya Elvis Peterseli,-- tokoh khayalan masa kecilku yang mirip Elvis Presley, aku berangkat.

Perjalanan ditempuh 10 menit naik sepeda motor. Pasar Kemiri dekat dengan rel kereta api, dan kadang-kadang bunyinya memekakkan telinga bila kereta lewat, walaupun para penjaja disana santai saja seolah hanya suara lalat.

Daftar belanjan pertama menunjukkan baha kami harus membeli paha kambing. Tiga buah. Di daftar dituliskan bahwa harga satu paha kambing sekitar Rp.52.000 sampai Rp.55.000, namun si abang kambing, begitu semua orang pasar menyebutnya, memasang harga Rp.60.000!

“55 aja, deh Bang!” kataku.

Ajaibnya, setelah melihat wajah ‘ArJaS’-ku, -- Arab-Jawa-Sunda--, juga wajah Ibu yang sedikit menyerempet wajah Hindi, si abang bilang, “Hatta Ente tawar 58 Ane ga bakal ngasih! Disini udah paling rokhis!” katanya padaku, bukan pada Ibu. Seandainya pada Ibu, sudah kumaki-maki habis bersih, kalau dia akan memukul, kaki radapincang-ku masih kuat menghindar cepat sejauh 5 meter.

“Gharam!!! Orang mana si abang berwajah Batak ini!? Faseh betul bahasa arab-betawinya!”, pikirku. “Ya udah deh, bang! Paha 3 biji, tulangnya pisahin, ga usah dibawa.” Kataku santai selagi Ibu memilih bawang di lapak sebelahnya. Dan transaksi selesai.

Selanjutnya ke tukang ayam, pria ramah berkumis dengan topi, dan celana pendek, dan hanya dia yang Ummah-ku tahu, ayamnya tidak disuntik. Tiga ekor ayam telah kudapatkan, selanjutnya…… Pulaaaannnngggggg!!!!!!

Keluar dari lingkungan pasar, aku berhadapan dengan jalan raya lagi. Lampu hijau tinggal 19 detik lagi ketika kulihat. Dan aku langsung melaju kencang serta menghitung mundur keras-keras. Sontak Ibu bingung. Beliau kira ada sesuatu yang buruk. Kalian tahu? Menunggu lampu merah yang 98 detik itu rasanya satu jam. Dan…….. aku berhasil menerobos lampu hijau yang tinggal 2 detik di saat terakhir.

“Ada apa, sih!?” kata Ibu ketus.

“Ngincer lampu ijo, Bu!” jawabku. Dan beliau mengetak (memukul kepala dengan ruas tengah pada jari tengah), tapi aku bersyukur pada Allah yang mahakuasa – yang telah memberiku makan dan minum dan masih mengizinkanku menghirup udara-Nya, meskipun sudah kotor karena pemanasan global yang ditimbulkan hambanya—karena aku memakai helm ketika itu.

Pulang kerumah, Ummah sudah ada didepan pintu memandikan Nafisah, adik bayiku, dengan sinar matahari sebagaimana bayi lainnya.

“Dapet semua?” tanyanya.

“Iya. Paha kambing tiga, ayam tiga, kan? Terus bawang?”

“Iya. Tulang kambingnya? Kau bawa, ‘kan?”

dan langsung pikiran aneh menyerangku. Tulang? Dibawa? Untuk apa? “Kenapa harus dibawa, Mah!?”

“Apa kau pernah makan gulai yang tidak ada tulang kambing didalam mangkoknya!? Tulang itu bikin gurih!”

Astaghfirullah! Oh my god! Betapa bodohnya aku ini….. tulang paha memang membuat gurih pada gulai!

Akhirnya aku memutuskan kembali lagi ke pasar, Ibu juga ikut lagi setelah kularang. Sampai dipasar yang mahasangatmenyumpekkansekali itu, kami key abang kambing lagi. Ibu meminta tulangnya,”Maaf ya, Bang! Ibu ga tau kalau cucu yang satu ini begitu goblok.” Enggak! Ibuku tidak akan bilang seperti itu. Tadi itu ngarang. Yang aslinya, “Maaf ya, Bang! Tadi ibu nggak sadar kalau tulangnya ketingalan! Saya minta lagi, ya?”

Dan si abang bilang, “Gapapa, Bu! Itu hak ibu sebagai konsumen!” katanya sambil tersenyum. Ternyata si abang kambing tu baek juga, ya? Dan aku pulang kerumah dengan tulang kambing! Tulang kambing! Tulang kambing! Tulang! Tulang! Tulang! Kambing! Kambing! Kambing! Pasar! Pasar! Pasar! Kemiri! Kemiri! Kemiri! Depok! Depok! Depok! Jawad! Jawad! Jawad!


bahasa arab

*hatta: sampai/walaupun

*ente: Anta: kamu(laki2)

*ane: Ana: saya

*rokhis: murah

Kamis, 16 April 2009

Tanpa Aku atau Dia, Hanya Kau dan Dirimu

Ilalang semakin memanjang menjulur kearah awan, mengerubungi kakimu. Kau melangkah saja terus seperti tak ada apa-apa. Bagimu, ilalang tidak dapat membuatmu terluka, karena sebuah luka menganga dengan lebar tanpa malu-malu dihatimu. Kau melempar ingatan kebelakang, menjadikan semua kenangan itu seolah berada didepanmu. Kau lihat lagi dirimu yang gemulai, bebas meliuk seirama angin. Juga pakaian indahmu. Juga seluruh kebahagiaan yang kau dapat kala itu. Namun seluruhnya tak meninggalkan guna barang sedikitpun, karena telah tak ada lagi kehidupanmu yang dulu, yang gemulai, dengan segala kebahagiaan.

Mungkin kakimu lelah sehingga kau berhenti melangkah, dan menduduki ilalang kering dibawahmu itu. Matamu melirik utara, dan hanya kesenyapan yang kau temukan. Tak ada pagi, siang, sore, atau malam bagimu, karena semuanya sudah tak berarti, dan kaupun berjalan goyah tanpa arti. Dimana lagi akan kau cari puing nalar yang biasa menyertaimu itu? Dimana lagi?

Utara telah membarat, barat telah mentimur, dan timur telah menyelatan, serta selatan telah mengutara. Apa maksudnya itu, kau tak tahu. Lagipula, apa gunanya bila kau tahu? Yang kau tahu hanya pikiran rasional dan masuk akal, lalu sekarang ini? Apakah hidupmu masuk akal? Kau tidak mau lagi mendengarkan perkataan-perkataan, karena kau harus melepas lelah dan penat dengan tidur, dan harus bangun pagi untuk kembali berjalan, walau tak ada pagi bagimu.

Sejuta pengalaman hidup telah kau telan, tanpa pernah kau muntahkan lagi. Karena apa gunanya memuntahkannya lagi? Kau telah mencari apa yang kau inginkan sedari dulu. Apa kau telah menemukannya? Kau tak menjawab. Bagimu, tak perlulah itu dijawab, karena kau tahu pasti bahwa kau belum menemukannya. Lalu sekarang mau apa kau? Dengan segala ketidak sempurnaan dirimu saat ini?

Setelah kau dengar pertanyaan itu, kau menangis tersedu-sedan, menyesali apa yang telah lalu. Apa gunanya? Lebih baik kau bangkit, tatalah semangatmu, dan berjalan lagi walalu tanpa arti, tanpa tujuan, namun setidaknya itu lebih baik dari menangis.

Kau mengatakan tidak bisa karena kau masih ingin menangis, menikmati tangisan, juga kesedihan. Terserah padamu saja kalau begitu, karena bila kau lihat lagi, tak ada apapun yang sepertimu, yang senang kala diselimuti kesedihan. Kau menghadap langit, mengadu pada bintang yang sudah jelas tidak mendengar karena jauh, juga karena ia memang tidak bertelinga! Kemana perginya pikiran rasionalmu? Apakah kau sudah menyerah pada asa, dan membuang semua gaya nalar usangmu?

Ketika kau tidak lagi percaya pada keajaiban karena menganggap itu kuno, kau tegak angkuh, meskipun itu tak bisa meruntuhkan kesan bahwa kau sebenarnya penggemulai yang hebat. Lalu sekarang? Lalu sekarang? Lalu sekarang? Bisa apa dirimu? Sudahlah, ikuti saja apa hatimu bilang, jangan sombong! Kau memang sudah tidak memegang keadaan akal ilmiah itu lagi, kan?

Lalu kau melangkah lagi sambil menghimpun alasan bahwa segalanya bisa saja masuk akal, seperti bagaimana ceritanya kau bisa sampai dalam kondisi ini. Apa gunanya lagi kau berpegang pada ke-masukakal-an, kala sesuatu yang masuk akal sudah menjauh darimu, tanpa pamit? Akan membaik jadinya kalau kau lepas seluruh kesombongan serta egomu yang luar biasa besar dan keras itu dan berpaling pada apa yang hatimu bilang. Kembalilah, kembalilah. Tak berguna lagi kau berpegang pada ideologi lamamu!

Tak ada fisika, metafisika pun tak ada. Yang ada hanyalah keajaiban tak berakhir, yang sudah tercipta ribuan tahun sebelum kau tercipta. Keajaiban itu tak berujung dalam dirinya, meskipun kau menciptakan ujung baginya. Dan kau sekarang bisa menyebut keajaiban itu dengan sebutan ‘Kata-kata’…….

Selasa, 14 April 2009

Dalam Kesunyian Asa

Dalam kesunyian asa, dia duduk disebuah lorong buntu yang membatasi dua buah apartemen. Senyum tipis selalu menyertai wajahnya kapanpun, dalam kondisi apapun. Tak ada yang mengenalnya, dan memang dirinya tak ingin dikenal. Impiannya satu: mengakhiri hidup dengan ketentuan alam, karena tak ada lagi yang ingin dan bisa ia capai di tempat mortal yang orang-orang sebut Bumi. Ia melempar pandang nun jauh keatas, pada langit tak berujung, tak bertepi. Sosoknya bungkuk, dengan janggut dan kumis tak beraturan. Rambutnya sewarna kafan, menandakan kafan semakin dekat padanya. Orang biasa menyebutnya, dan semua orang yang tampak seperti dirinya dengan sebutan Gembel, sangat umum.

Ia tak peduli akan apa yang orang katakana padanya. Tak ada bahagia ataupun kesedihan padanya saat ini. Ia terlalu lama hidup, dan bukan hidup yang enak, pula. Hari-hari ia lalui tanpa sesuatupun mengisi asanya. Sunyi. Dalam kesunyian asa ia melihat semuanya bersuka cita. Kota ini, orang-orangnya, bahkan para lalat yang biasa ia jadikan rival perebutan makanan di tempat-tempat umum. Tapi ia tidak. Tidak senang, tidak pula nelangsa. Tak mau ia bicara setelah tak ada lagi yang bisa ia peroleh dalam kefanaan ini. Pikirnya, buang-buang energi saja.

Tak ada dialog dalam hidupnya, namun mereka yang pernah berpapasan, atau bahkan sekedar beradu pandang dengannya, akan menjadikannya dialog. Kala teman-teman senasibnya yang tidak ia kenal itu mengunjungi rumah-rumah Tuhan dari berbagai keyakinan untuk mengambil sedikit rezeki dari para pengurusnya, seperti Imam Masjid atau Pendeta, ia tak ikut bersama mereka. Ia malu pada Tuhan karena meminta mati, seakan tak mensyukuri jalur takdirnya yang membuatnya masih bisa berdiri walaupun bungkuk. Namun apa daya, ia ingin itu, dan apapun hal di kiri dan kanannya tak dapat membuatnya menafikan keinginannya.

Tak mau ia membuka mulut kecuali untuk makan dan terkadang untuk meneteskan liur dan membunyikan dengkur akibat lelah dengan hidup, atau untuk sedikit bersin yang selalu ia tutup dengan sapu tangan yang telah bertambal bermacam-macam kain, mulai dari katun tipis, sampai potongan karpet hijau Musolla. Temannya berbagi hal adalah burung-burung, yang entah apa alasan mereka, masih mau bertahan dikota yang penat begini, padahal mereka bisa membelah angkasa dengan kepakan-kepakan indah.

Suatu hari, dalam keheningan asanya, ia lihat kota ini sibuk, untuk sesuatu yang tak ia mengerti. Orang-orang kaya, para Gembel, manusia yang baru memulai umurnya, manusia yang hampir mati, menghambur kepada satu titik, seakan itu adalah bahtera Nabi Nuh, yang akan menyelamatkan mereka dari banjir besar. Ia tak terlalu peduli, karena menurut percakapan penduduk yang didengarnya, akan ada perayaan dibalai besar kota. Baginya, itu sangat tak penting. Setelah semua penduduk ada di balai besar itu, keadaan disekitar dirinya bertambah lenggang. Sekali lagi ia memohon mati pada Tuhan, memintanya menyudahi nafasnya. Tak didengar. Setidaknya itu yang ia rasa. Ia tak tahu apapun tentang Tuhan, sama seperti orang lain tak tahu siapa dirinya. Mungkin sebenarnya tuhan mendengar, namun tak ia jawab dalam bentuk suara, juga tak langsung ia kabulkan karena alasan yang sebenarnya adalah yang terbaik bagi sang peminta.

Hujan mengguyur, dari rintik menjadi segerombolan air yang hobi mengeroyok. Hari sudah sore dan air membasahi jidatnya, juga para penduduk kota dibalai itu. Tak ada artinya hujan ini baginya, karena kesunyian asanya sudah sampai pada batasan ‘Tak Dapat Merasakan Apapun’, dan itulah yang menjadikannya masih dapat bernafas hingga saat ini, walaupun keinginannya berkata lain.

Penduduk kota mulai memasuki rumah-rumah mereka, mungkin karena pertunjukan telah selesai, atau mungkin juga karena tak kuat menahan rasa dingin yang menembus sumsum.

Seorang pemabok yang sedang mabok mendekatinya, memecahkan botol minuman kerasnya, lalu mengambil sebuah linggis. Ia meminta uang darinya. Sungguh tak tahu diri meminta uang dari seseorang yang bahkan tak pernah punya permintaan selain mati. Tentu saja pemabok ini marah setelah ia tak diberi uang. Sang pemabok mengangkat linggis tinggi-tinggi, lalu memukulnya.

Entah apa dalam benak tuhan saat ini, tak ada sebuah luka dan rasa sakitpun padanya, malah, sang pemabok itu tersungkur tewas. Sekali lagi, ia gagal menjumpai Sang Ajal. Tuhan tak memberi apa yang ia inginkan, dan malah memberinya pada orang lain yang tidak menginginkannya. Dalam kesunyian asa, ia pergi meninggalkan mayat pemabok itu, sambil mendumel pada Tuhan.

Ditulis Dalam Kesunyian Asa , Terinspirasi Dari Sebuah Puisi dengan Judul dan Penulis yang Sama, Dua Tahun Lalu……

Muhammad Jawad Husein Alatas,

14 April, 2009.