tag:blogger.com,1999:blog-38179665025886408392024-03-13T13:29:03.892-07:00Dunia JavadCerita Pendek, Puisi, dan Tulisan Bebas: semuanya karya Javad HuseinJavad Husein Atthashttp://www.blogger.com/profile/10220984850414737181noreply@blogger.comBlogger8125tag:blogger.com,1999:blog-3817966502588640839.post-19576297839758244892010-03-11T18:28:00.000-08:002010-03-11T18:29:41.610-08:00Jatuh Bersama Hujan<div style="text-align: justify;">Hujan turun, membasahi seluruh kota, rumah-rumah yang berdiri diatasnya, tanah-tanah terbuka, sarana umum, kendaraan-kendaraan, orang-orang, juga tubuhku. Tapi kau tahu, aku tak di kota itu? Sendirian, tertawa. Dimana aku? Aku ada ditengah hujan, mengamati kota kelahiranku, namun tak ada didalamnya. Ketika kau bertanya lagi: ‘Dimana?’, seharusnya kau mengerti bahwa aku juga tak tahu. Diatas langitkah? Mungkin saja. Aku ingat kala aku akan tidur, mohonku pada Pencipta Langit dan Bumi, agar ia sudi mengusir segala penat ini dari dalam diriku. Sudah lama aku mengalami keterpurukan dalam menjalani hidup yang—katanya—indah ini.<br /><br />Kini akhirnya aku bisa tertawa, ditengah hujan, di sebuah tempat yang tak kutahu apa: lebih mengerikan daripada tak tahu kau ada dimana, bukan? Harusnya seperti itu, namun terbasahi oleh air langit yang ini seperti kokain buatku, segar dan menyenangkan. Kau bisa bayangkan bukan, kala dirimu terperangkap terlalu lama dalam sunyi, dan otak serta akalmu menjadi buntu? Kau dapat membayangkan betapa tidak enaknya menjadi seperti itu, bukan? Namun kala aku melihat seluruh kota ini: kota kelahiranku ini dari atas, bersama air hujan yang turun kebawah, layaknya menghujam kota itu, menyaksikan orang-orang berlarian tak tentu arah, membuatku tak ingin berhenti tertawa walau sudah tak ada yang lucu.<br /><br />Ah, hujan, hujan, hahaha. Saat melunturkan segala yang panas dan rusak dari dalam otakku, dan tetesan air itu ikut masuk kedalam hidungku kala kucoba menarik napas terlalu dalam, aku merasakan kebahagiaan yang sangat besar, sangat hebat: terlalu bahagia bisa berbahaya juga, bukan? Biarlah.<br />Kini aku menyapu pandanganku pada langit gelap diatasku, sumber jatuhnya jutaan liter air itu, tersenyum kala jarum-jarum basah itu masuk kedalam kedua mataku. Aku berteriak dan berputar. Tak berhenti, rasanya tak ingin berhenti. Sungguh, ini adalah kesengangan yang fantastis! Menderu jantungku kala kurasakan kepala ini mulai pening. Tapi tetap saja, menyenangkan. Aku bahkan tak yakin kalau surga nantinya akan semenyenangkan ini.<br /><br />Dapatkah surga melantunkan deru air yang monoton ini terus-menerus? Dapatkah surga terus-menerus membasahi rambut panjangku dengan tombak-tombak kecil menyenangkan itu? Dapatkah surga membuat air selalu menetes dari ujung hidung dan daguku? Aku tertawa renyah saat memutar pertanyaan itu dalam otakku. Hahaha, entahlah, semoga surgaku nanti seperti itu.<br /><br />Melihat lagi kebawah, kulihat kota mulai ricuh: sebuah gedung meledak! Ironis, ya? Ini hujan, sedang hujan, mengapa gedung itu meledak? Bayangan tentang gedung yang meledak dan kemungkinan ratusan korban didalamnya membuat kesenangan dahsyat ini sedikit mengendur, tapi, setelah berdoa sedikit semoga tak terjadi yang lebih parah pada Sang Pencipta Hujan, aku mulai berputar lagi diatas sini. Pantas saja bumi dan seluruh susunan tatasurya tak berhenti berputar. Pantas saja, berputar kan sangat menyenangkan.<br /><br />Namun, setelah berjam-jam tak berhenti tertawa, berjingkrak, dan berputar, aku lelah dan menjatuhkan diri pada permukaan datar tak terlihat tempatku berdiri. Dan tawaku mulai tertahan. Aku mulai mencoba mengatur napasku. Senyuman masih merekah dan semangat masih meletup, serta udara masih dingin. Hujan juga masih turun, belum mau berhenti. Hey, disini sepi, ya? Bukannya memang begitu? Hanya aku sendiri disini. Hanya aku yang dikarunia kesempatan berdiri bersama hujan. Hanya aku. Tapi mengapa?<br /><br />#<br /><br />Malam mendekati pagi. Dini hari. Aku masih saja menatap keluar lewat jendela. Duduk diatas kasur, menikmati, ya, itu: hujan. Aku yang sudah beberapa hari itu tak mengganti piyamaku dengan susah payah tetap terduduk, walaupun sebenarnya sangat menyakitkan: tulang punggungku rasanya mau patah saja. Aku sudah menderita yang seperti ini; punggung sakit, batuk tak henti, mata selalu merah, napas sesak, susah berbicara, selalu linglung, sejak usiaku menginjak 20 tahun. Huft, berarti sudah dua tahun sejak saat itu. Dan aku selalu terhibur kala langit meneteskan airnya. Oh, sungguh indah, menentramkan, damai …<br /><br />Ibu selalu bilang padaku, terutama saat aku masih remaja, sebelum jatuh terbaring ditempat tidur karena sakit, bahwa hujan adalah sumber kehidupan, terjangkau oleh semuanya, tak seperti sungai atau danau yang hanya mengaliri dan berada ditempat-tempat tertentu saja. Sambil bilang begitu, Ibu selalu menyusupkan tangannya yang hangat kedalam pakaianku, dan mengusap punggungku yang dingin. Apakah panas tubuhku tak seperti manusia lainnya? Mungkin, karena aku selalu merasa kedinginan.<br /><br />Namun, kala hujan, aku merasa seolah aku adalah dinginnya hujan itu sendiri. Apakah aku bidadari hujan? Ah, khayalan itu, lagi-lagi menyeruak keluar dari memori masa kecil yang seharusnya sudah hanya kujadikan sebagai nostalgia saja. Kadang, bukan kadang, selalu, aku selalu tertawa sendiri saat petir yang berkilat itu menyilaukan mata dan memekakkan telingaku. Apakah nyawaku ada pada hujan? Ah, omong-kosong itu lagi.<br /><br />Hujan masih membasahi kaca jendelaku dan membuat seluruh kamarku yang gelap berderu indah. pikiranku melayang ke sumbernya: langit yang tak memiliki tepi itu. Aku yang sakit ini seharusnya tak usah bertindak macam-macam, namun kecintaanku pada hujan membuatku ingin merasa bersatu bersamanya. Aku, dengan keinginan besar yang mungkin bisa disebut kebodohan, membuka jendela dan membiarkan angin kencang serta serbuan tetesan air membasahi seluruh wajah, tubuh, dan ranjangku.<br /><br />Kepalaku. Tiba-tiba kepalaku merasakan sakit luar biasa. Sakit. Mengerikan memang, kala kepalamu tiba-tiba terasa sakit, dan separuh kamarmu basah oleh hujan, dan kau tak tahu apa yang harus kau lakukan karena bahkan berdiripun kau tidak bisa. Dan celakanya lagi, aku yang mengalami hal itu menikmatinya! Celaka, pikirku kala itu, mengapa terasa menyenangkan? Ini derita, kan?<br /><br />Sampai akhirnya Ibu datang kekamarku. Mungkin karena mendengar deru keras didalam rumahnya. Tapi Ibu biasanya takkan terbangun pada malam hari walau ada suara sekeras apapun. Tak tahu juga mengapa ia bisa datang. Yang jelas Ibu menjerit karena aku menatap kosong pada jendela yang terbuka, dengan hujan deras mengguyur, atau mungkin juga bisa disebut menenggelamkan wajahku. Aku saat itu merasa sakit, namun tak dapat menampilkan ekspresi apapun: aku-kosong. Ini-karena-hujan.<br /><br />Sejak saat itu, Ibu melarangku melihat hujan lagi. bahkan ia memindahkan kamarku ke ruangan yang ada di tengah, dengan jendela menghadap ruang keluarga: tak ada pemandangan luar, tak ada pemandangan hujan, tak bisa melihatnya lagi.<br /><br />#<br /><br />Kau tahu? Suaraku teredam oleh deru air ini, yang semakin lama semakin deras. Suhu tubuhku yang tak seberapa panas, tentu saja tak dapat kurasakan lagi. aku terlalu lama bersama hujan ini. Aku terlalu lama menjadikan diriku bagian darinya. Aku terlalu lama berada dalam kondisi yang lebih kusukai daripada hanya sekedar sehat dan berekreasi. Kini aku sedikit merasa tidak nyaman. Senyumku hilang.<br /><br />Aku mencoba mengingat kembali, mengapa aku ada disiini, mengapa hanya aku?<br /><br />#<br /><br />Hujan deras tadi sore.<br />Aku yang terduduk diam sendirian membungkam diri dengan bantal, menjerit sekeras-kerasnya, seakan mau meledak. Kenapa? Biasanya aku tak pernah begini. Mungkin karena tak pernah lagii melihat hujan. Entah hujan yang semakin deras, atau hanya suaranya saja yang memenuhi kepalaku: derunya yang indah, bunyi tik tik-nya, nuansa buram dan kelam, energi dingin, kehidupan yang berkesinambungan, pencerahan, suatu ledakan mental… hujan milikku. Itu yang kurasa. Sampai akhirnya ketika aku sadar bahwa nadi ini masih berdenyut, aku berada diatas kota ini, menjadi bagian dari hujan itu sendiri.<br /><br />Dan kini, rasa tersiksa menyergapku. Aku mengap-mengap diatas sini, sulit bernapas. Sesak. Sesak. Kepalaku. Mencair? Tidak, tapi itulah yang kurasakan. Apakah hujan menolakku menjadi dirinya?<br />Aku tak tahu, mengapa rasa cintaku pada hujan saat ini malah menjadikan diriku termakan oleh kekuatannya yang dahsyat.<br /><br />#<br />Hujan memanggilku kala itu, membuatku terseret masuk kedalamnya, menari bersamanya, merasa gembira. Itu kan tadi. Lalu sekarang? Tubuhku dingin luar biasa, lalu berubah menjadi rintik hujan itu sendiri.<br /><br />#<br /><br />Kala aku telah jatuh, menabrak bumi, seakan ada suatu gaya magis, diriku membaur bersama puluhan orang: mengamati gedung yang baru meledak itu. Bagian atasnya, hampir separo gedung itu telah hitam, hancur. Kulihat seorang wanita paruh baya terisak keras, berteriak-teriak histeris kepada para petugas pemadam kebakaran.<br /><br />“Aku… tadi, kala aku keluar, keluar, ke, ke sebuah minimarket didekat sini, aku mendengar suara ledakan besar. Aku, aku, berlari melihat apa yang terjadi, sampai akhirnya, sampai akhirnya aku menemukan apartemen ini terbakar! Kalian tahu!? Kalian tahu!? Tempat tinggalku ada dilantai paling atas gedung ini, dan disana, disana, anakku, anak perempuanku satu-satunya … anak perempuanku satu-satunya, yang sedang sakit, ada disana. Aku menyayanginya, kalian tahu? Aku menyayanginya. Tapi, ia seakan-akan lebih menyayangi hujan. Aku tahu, kini ia, ia, pasti sudah ikut hancur bersama ledakan barusan.”<br /><br />Aku terhenyak kaget, lalu berteriak keras walaupun aku tahu tak mungkin ada yang bisa mendengarku, “Aku tidak hancur bersama ledakan itu, Ibu! Aku kini menjadi hujan. Kau bisa melihatku turun ke bumi setiap hujan turun!”<br /><br />Hujan mulai reda.</div>Javad Husein Atthashttp://www.blogger.com/profile/10220984850414737181noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3817966502588640839.post-20631639375858036332010-03-11T18:26:00.000-08:002010-03-11T18:27:39.646-08:00Malam<div style="text-align: justify;">Malam masih duduk di tempatnya sekarang, di kaki langit: menunggu gilirannya melengkapi waktu. Ia terdiam. Hari masih senja, belum gilirannya. Ia baru saja bersiap menghitamkan langit seperti biasa. Sejak jutaan tahun selalu saja begitu. Alam memang memberikan tugas itu padanya. Dan nanti, sekitar satu atau dua jam lagi, ia akan menggelapkan semuanya. Selalu saja seperti itu, dan ia tak pernah mengeluh atas mandat ini: memang takdirnya.<br /> <br />Langit masihlah berwarna jingga. Awan-awan kelabu juga bertengger, membentuk onggokan gunung-gunung langit diatas sana, mempercantik angkasa. Burung-burung terbang kembali ke sarang mereka. Anak anak kecil juga begitu, dengan teriakan orang tua mereka dari dalam rumah, atau pekikan pelan pembantu yang kelelahan setelah bekerja seharian, atau dijemput langsung, mereka semua pulang ke rumah-rumah mereka setelah selesai bermain atau mungkin mengikuti kursus sana-sini. Para pekerja kantoran atau buruh-buruh pabrik pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing, melepas penat dan menunggu Malam datang bersama kegelapannya, melelapkan setiap orang. Dari dulu selalu saja begitu. Memang banyak perubahan dalam gaya hidup masyarakat sekarang, tapi selalu saja semuanya sama: istirahat ketika hari menggelap, walaupun beberapa kelompok tetap saja terbangun.<br /> <br />Malam menggeliat sejenak. Tangan hitamnya yang besar haruslah memadamkan langit: sekarang, menurut jarum jam alam, adalah waktu kerjanya. Akhirnya ia melompat dari tempatnya kini duduk, mengusir warna jingga dari langit, menggantinya dengan ungu tua. Belum larut. Kakinya dengan cekatan melompat dari lapisan udara satu ke yang lain, dan tangannya yang seolah-olah kuas itu menebarkan ketenangan bersama gelap. Malam telah tiba. Ini adalah tugasnya. Selalu saja menjadi tugasnya.<br /> <br />Telah sempurna. Langit telah sepenuhnya hitam, namun manusia masih saja ada di luar. Tidak seperti dulu, batin Malam, kini kehidupan telah berubah. Saat ini malam duduk diatas langit, merajai waktu untuk sementara sampai pagi datang. Kepalanya mengadah keatas, ke kegelapan abadi, yang tak bisa dijangkau mata manusia kecuali dengan menggunakan peralatan-peralatan modern. Ia mengadah ke luar angkasa. Bertanya-tanya ia dalam hati, sebegitu lamakah umurnya? Berapa ribu abad ia selalu bersama langit dan tugas ini, menampakkan buintang-bintang, membantu bulan bersinar, memberi kehidupan pada para nokturnal, dan memberi waktu istirahat pada makhluk-makhluk lainnya? Ah, sudah berapa lama?<br /><br /> Kadang sendiri ia berpikir, mengapa ia tak pernah bosan dengan tugasnya yang ini-ini saja: menggelapkan langit. Gelap? Identik dengan keburukan, bukan? Apakah ia memperburuk langit? Tidak, langit indah karenanya, dan Siang tak bisa menampilkan keindahan langit pada setiap orang, karena banyak dari mereka yang merasakan panasnya. Namun duduk memandangi langit pada malam hari, bukankah itu sebuah kedamian? Ah, tidak, dia tidak memperburuk langit.<br /><br />Lalu ia berpikir, tidakkah kegelapannya berarti membuat segalanya tak terlihat? Ya, kadang dia berpikir seperti itu. Tapi bukankah segala sesuatu harus punya penutup? Karena tak ada lagi keindahan mutlak. Bahkan manusia bisa saling bunuh apabila suatu perkara diperjelas. Ya, perannya adalah sebagai tabir dari hal-hal yang tidk perlu diketahui oleh sesuatu yang lain.<br />Kegelapannya membuat manusia lelap. Tidak juga. Banyak dari mereka yang senang akan kegelapannya.<br /><br />#<br /><br />Sebuah guncangan di belahan dunia membuat Malam tersentak dari ingatannya yang indah itu. Ia, dari atas langit, tempatnya saat ini, tahu apa yang terjadi: manusia lagi-lagi membantai sesamanya. Lihatlah negara yang indah itu. Telah sering tanahnya dijatuhi peledak, telah habis bersih wilayah itu digempur, telah banyakj terluka rakyatnya, telah meredup harapan mereka akan kedamaian. Siapa? Yang melakukannya? Ahh, biang kekacauan masihlah sama sejak enam puluh tahun yang lalu: negara tetengganya. Tetangga? Siapa mengizinkan negara tetanga itu menduduki wilayah mereka? Tak ada. Maka itulah, manusia-manusia yang lebih buruk dari seburuk-buruknya hewan itu mengambil teritori negara itu. Untuk diduduki? Ah, apapun alasannya, tetap saja.<br /><br />Malam tak memutuskan untuk menapki bumi untuk menyaksikanperistiwa itu. Buat apa? Selalu begitu, kan?<br /> <br />Malam tahu benar, inilah manusia. Dari dulu tetap sama: untuk kekuasaan, apapun dilakukan. Meratap ia mengadu pada Mahakuasa tentang makhluk-makhluk yang ia naungi dengan kegelapan untuk beristirahat, kelam tubuhnya memang selalu begitu, namun sejatinya dengan perannyalah manusia dapat bercahaya, dalam waktu bersamaan mereka juga kelam.<br /> <br />Di belahan bumi lain, gemerlap mewah kesenangan orang-orang kaya juga tetap begitu: glamor dan menggiurkan. Malam tahu perannya bukan saja untuk menidurkan makhluk-makhluk kelelahan. Ia juga membangunkan manuisa-manusia, sebagian mensyukuri kehidupan dan karunia yang diberikan olehnya dengan mengadahkan kepalanya pada yang Mahakuasa, memunajatkan dan melantunkan doa-doa dan permohonan ampun, khidmat dan khusyu’ dalam kesunyian dan kesendirian, berdua saja dengan penciptanya. Sebagian lagi, dengan ‘dalih menikmati’ yang diberikan kepada mereka dari penciptanya, bersenang-senang dengan cara yang kelihatannya tidak kotor. “Bukankah berpesta pora adalah salah satu cara mensyukuri malam?”, dalih mereka.<br /> <br />Malam selalu suka dengan orang-orang pertama, yang tidak melepas ikatan mereka dari sang pencipta, melakukan apa yang ia perintahkan. Dan Malam, atas kegelapan yang diberikan Alam kepadanya, menyayangkan kelakuan buruk manusia pada waktu ia bertengger diatas langit, melaksanakan mandatnya.<br /> <br />Ah, kadang ia juga menyaksikan betapa tidak nyenyak tidur mereka yang kelaparn didalam dirinya, dan kadang bermimpi mendapat makannan dari para penguasa itu. Para penguasa itu? Heh, mereka bisa apa? Menyengsarakan rakyat? Sudah kodrat mereka, barangkali?<br /> <br />Malam, dengan kelembutanya selalu merasa marah atas fenomena sosial seperti itu. Namun ia ini apa? Ia hanya kegelapan sunyi yang hanya bisa begitu. Perannya itu-itu saja.<br /> <br />Tapi sungguh berlama-lama dalam kegelapan dan jati diri sebagai kegelapan itu sendiri membuat Malam merindukan saat-saat ia bercahaya dahulu. Ya, ia pernah bercahaya. Cahaya yang indah, jauh lebih indah dan menentramkan daripada sinar mentari atau bulan yang bersinar didalam dirinya. Cahaya itu adalah cahaya Malam: cahaya yang dipancarkan oleh sang Malam itu sendiri.<br /><br />#<br /><br />Ratusan tahun lalu, saat belum ada gedung-gedung pencakar langit, belum ada sarana komunikasi sepraktis saat ini, belum ditemukannya tekhnologi mutahkir, belum maraknya pengobatan modern, belum banyaknya mobilitas manusia, di saat tugasnya, Malam tidak duduk dilangit. Tak seperti biasanya, ia mendekati permukan bumi. Heran ia kala merasakan tubuhnya selalu bercahaya, padahal Alam telah memberi kodrat gelap padanya.<br /><br />Aura apa? Aura apa yang membuatnya begini? Entahlah, maka itu ia mencari tahu. Ditelusurinya setiap jengkal tanah, memutari seluruh petak planet ini. Semakin ia mencari tahu, semakin ia tak tahu, semakin ia bercashaya. Kenapa? Kenapa? Ia tak tahu: belum juga tahu.<br /><br />Tapi semakin lama, suara pelan yang sedari tadi tanpa ia sadari mengusiknya, kini bertambah keras. Suara-apa? Terdengar seperti...munajat. ya, munajat-munajat itu terlantun dari bibir ribuan orang diseluruh dunia, dengan warna kuli, kebangsaan, bahasa, dan aksen yang berbeda. Munajat-munajat itu terbang tersampaikan ke langit, bercahaya, membuat malampun bercahaya: cahaya yang tidak terlihat oleh mata, tapi menentramkan.<br /><br />Ah, Malam merasa bangga dengan perannya, karena dibalik kegelapannya, cahaya hati mengudara, menyibak tabir hitam, menembus langit, tersampaikan pada Tuhan. Alunan munajat itu semakin keras, menentramkan hatinya yang hitam. Hitam, namun bercahaya. Suara pemanggil Tuhan itu bergerombol membentuk jutaan garis putih, berpusat pada satu titik diatas langit, membuat segalanya terlihat benderang. Malam merasa jauh lebih bercahaya daripada Siang. Indah, menggetarkan.<br /><br />#<br /><br />Itu dulu, kala bumi masihlah terlihat gelap karena minimnya penerangan, saat mayoritas manusia masih ingat dalam arti sesungguhnya pada Penciptanya, saat aliran keajaiban masih memenuhi atmosfer. Saat ini, kala penerangan membuat mata selalu mengerjap, kala segalanya tak lagi tertabiri oleh gelap, Malam merasa kehilangan cahayanya, cahaya yang menjadi jati dirinya.</div>Javad Husein Atthashttp://www.blogger.com/profile/10220984850414737181noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3817966502588640839.post-43463292030831779402010-03-11T18:23:00.000-08:002010-03-11T18:25:59.903-08:00Yang Ditikuskan<div style="text-align: justify;">Malam telah larut, membuat segalanya terlihat gelap dan sepi. Angin berhembus pelan, menggerakkan satu-dua ranting pohon, membuat mereka bergesekan, menimbulkan irama sepi. Bulan menggantung di angkasa, bulat sempu<span style="font-weight: bold;"></span>rna. Bintang-bintang tak begitu terlihat jelas. Sesekali, gumpalan awan terlihat dibawa angin. Dominan hitam, mungkin pagi nanti akan sangat mendung. Tak ada suara jangkrik yang menenangkan disini, apa lagi suara burung hantu atau binatang malam yang hidup di alam terbuka lainnya.<br /><br />Daerah ini adalah sebuah perumahan elite dengan kualitas hunian terbaik di seluruh negeri yang terletak di ibu kota. Rumah-rumah besar dan megah berdiri tegak, seolah menjulang, lebih angkuh dari para pencakar langit. Segala keindahan memenuhi rumah-rumah orang-orang nomor satu itu. Mereka orang-orang kaya. Banyak diantara mereka adalah pemilik perusahaan-perusahaan internasional, tak sedikit juga pejabat Negara yang tinggal disitu. Taman-taman di rumah-rumah itu sempurna indah, dengan patung-patung perunggu dan air mancur, serta tanaman-tanaman yang terawat rapi. Di belakang rumah-rumah itu ada kolam-kolam renang yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan tersier yang sudah menjadi kebutuhan primer bagi mereka. Mobil-mobil berharga milyaran juga memenuhi garasi mereka.<br /><br />Sungguh, dari luar, hidup mereka terasa sangat indah. Tak ada yang menduga bahwa pada hakekatnya, orang-orang itu gelisah dan rentan melakukan bunuh diri. Pengusaha-pengusaha, serta pejabat-pejabat Negara itu punya cara pandang sendiri akan hidup, yang tak dimiliki orang lain, atau mungkin hanya dimiliki sedikit orang dari kalangan menengah kebawah: sebuah paradigma negatif.<br />Mereka sulit percaya pada orang lain, bahkan mungkin relasi atau kerabat mereka sendiri. Itu karena ada kepentingan yang harus mereka lindungi, kepentingan pribadi mereka. Dengan cara apa mereka mendapatkan uang, semua orang sudah tahu: kebanyakan dari cara-cara tidak halal.<br /><br />Orang-orang ini, bagaimanapun dalam hidupnya, akan banyak mengandalkan uang untuk menghapus kegelisahan mereka, walaupun di waktu berikutnya mereka akan lebih gelisah. Bisa saja merencanakan pergi ke Negara lain pada saat ini, dan sudah sampai disana tiga jam berikutnya, lalu kembali lagi ke Negara ini kurang dari dua belas jam. Mudah saja.<br /><br /><br />#<br /><br /><br />Sebuah rumah dari kumpulan rumah-rumah besar itu menunjukkan kemegahannya dengan pilar raksasa pada kedua sisinya. Penjaganya adalah petugas-petugas keamanan terlatih yang tidak dibayar murah. Mereka mampu melumpuhkan orang mencurigakan yang mereka rasa akan mengganggu rumah itu. Mereka juga denga cepat akan mengambil tindakan bila ada sesuatu diluar wajar yang terjadi. Selain itu, sistem keamanan dalam rumah itu juga dilengkapi alarm canggih buatan Negara adi kuasa. Biarpun begitu, tak ada yang bias mencegah satu makhluk hitam kecil menerobos masuk.<br /><br />Makhluk kecil itu merayap diantara kaki-kaki petugas-petugas keamanan, memasuki kegelapan setelah dengan cepat berlari menjauhi terangnya pencahayaan beranda rumah. Mata bulatnya memandang segala arah dengan pengelihatannya yang hitam-putih. Indera-inderanya terlatih karena alam dan kerasnya hidup sebagai makhluk yang tidak diharapkan. Ia lapar. Namun lebih dari itu, ia ingin menunjukkan sesuatu kepada dunia dengan rencananya malam ini: sebuah rencana besar yang telah ia susun selama hampir seluruh masa hidupnya dan makhluk-makhluk sejenisnya yang relatif pendek.<br />Dibantu oleh pengalaman akan kerasnya hidup, makhluk itu berhasil masuk kedalam rumah setelah menggerogoti sebuah bingkai jendela kecil. Sepertinya jendela gudang.<br /><br /> Sekali waktu, ia pernah mencoba masuk lewat pintu utama, walaupun tahu bahwa kualitas kayu yang digunakan untuk membuat pintu itu membuatnya hampir tak mungkin sanggup menggerogotinya. Bahkan, sebelum sampai di depan pintu, sebuah sosok yang lebih besar dari dirinya menghadang. Dengan liur yang terus menetes, sosok besar itu menyalak kepadanya, dan menyerangnya dengan cepat. Makhluk hitam kecil itu segera berlai kencang, namun makhluk yang lebih besar dari dirinya itu lebih dulu menggapai ekornya, lalu memutuskannya.<br /><br />Dengan ekor berdarah, makhluk kecil itu kabur. Di kejauhan, dia menyadari kalau sosok yang tadi mengejarnya adalah seekor anjing. Petugas-petugas keamanan menenangkan anjing yang terus menyalak tersebut. Dengan nafas terengah-engah, makhluk kecil tersebut menyadari kalau ekornya tinggal separuh. Ia menggerutu dalam hati, menyumpahi anjing itu sambil berpikir, “Hufft, lebih baik aku terlahir sebagai seekor cicak saja.” <br /><br />Dengan pengalaman pahit itu, ia tak lagi masuk lewat pintu utama. Jendela gudang merupakan jalan terbaik untuk masuk, pikirnya. Setelah berhasil membuat lubang, ia masuk kedalam rumah itu. Sejenak ia berpikir cara menyelinap kedalam ruangan-ruangan utama, mengendap-endap, berusaha tidak ditemukan oleh siapapun dari penghuni rumah. Ia takut seseorang dalam rumah itu akan meneriakinya denga kata yang menjadi jati dirinya: “Tikus!” sebelum rencananya berhasil.<br /><br />Tapi ia berpikir, pasti sudah tidak ada lagi yang terbangun pada saat ini. Maka itu, sang tikus dengan langkah ringan menggerogoti pintu gudang untuk masuk ke ruangan-ruangan utama didalam rumah itu.<br /><br />“Aman,” katanya dalam hati.<br /><br />Ia tahu rumah siapa itu: rumah seorang Tikus. Se-o-rang Tikus. Ia pernah melihat wajahnya di televisi ketika acara berita menayangkan kasus korupsi. Orang ini lolos setelah sebelumnya terbukti menggelapkan uang Negara sebesar 18 milyar. Setidaknya itulah yang selalu didengungkan oleh para demonstran yang berdemo didepan kantor orang-orang seperti dia: “Keluar kau, Tikus! Kembalikan uang rakyat, dasar busuk!”<br /><br />“Tikus,” batin tikus seekor tikus itu dalam hati. “Kenapa Tikus? Kenapa orang-orang yang memakan uang Negara itu harus ditikuskan? Ada apa dengan diri kami, sehingga manusia-manusia itu menjuluki makhluk-makhuk seperti diri mereka sendiri dengan sebutan Tikus, jenis makhluk yang merupakan pekerja keras dan penantang nasib.”<br /><br /> Sedangkan manusia-manusia yang disebut tikus oleh sesamanya itu merupakan makhluk-makhluk yang dengan santai duduk dibelakang meja, mengkontak sana-sini—sesama manusia Tikus—untuk memperkaya diri. Berlibur ke luar negeri dengan alasan studi banding, dan kejahatan-kejahatan halus lainnya.<br /><br /> Kenapa Tikus? Tikus adalah makhluk yang rela masuk kedalam gorong-gorong hanya untuk mendapat makanan, kabur dari ancaman-ancaman yang selalu menghantui hidup mereka, juga jebakan-jebakan. Sedangkan orang-orang itu, berjalan kaki-pun sungkan, lagipula tak ada yang menghantui hidup mereka. Mereka makmur, disegani dan dihormati, dan tak pernah dijebak seperti tikus. Ahh, kenapa Tikus? Keluhnya dalam hati.<br /><br />Ia memutar memorinya, ketika ia dan koloninya masih tinggal di sebuah perkampungan yang sempat makmur, hidup dengan nyaman dan penuh makanan sisa yang bisa mereka santap setiap waktu. Ketika perkampungan itu mulai terpuruk oleh sebab yang tak ia ketahui apa, dan makanan kini harus dicari didalam rumah-rumah warga yang juga makan dengan porsi sedikit, ia mencoba berjalan-jalan, menelusuri bantaran sungai, lalu menemukan sebuah balai pertemuan. Disana, kepala desa dengan penuh amarah berbicara kepada para warga, “… kampung kita menjadi tidak makmur, segalanya telah habis dijarah secara perlahan dan halus. Itu semua karena ulah tikus-tikus itu …”<br /><br />Sang tikus kaget bukan main. Memangnya apa yang telah dilakukan kaumnya pada manusia-manusia itu? Mereka hanya mengambil makanan sisa, dan terkadang sesekali menyelinap ke dapur untuk mengambil satu-dua potong ikan asin. Apakah separah itu akibat yang mereka timbulkan?<br /><br />Setelah ia tahu semuanya, bahwa tikus yang mereka maksud adalah manusia-manusia korup pemakan uang rakyat itu, ia merasa memiliki dendam pada mereka, orang-orang yang mentikuskan diri tersebut.<br /><br /><br />#<br /><br /><br /><br />“Sudah kau temukan caranya?” sebuah suara mengagetkan tikus itu: suara tikus lainnya. Warnanya kecokelatan: mantan tikus rumahan yang sekarang hidup di jalanan.<br />“Oh, bikin kaget saja kau!” katanya, “Dari mana kau masuk?”<br />“Lubang yang kau buat di jendela gudang.”<br />“Kau mengikutiku?”<br />“Hanya untuk memastikan bahwa rencana gilamu benar-benar gila. Sudah kau temukan caranya?”<br />“Aku memang sudah menemukan cara itu sejak lama. Tikus besar ini harus kita lumpuhkan untuk menunjukkan pada dunia bahwa kita tak sudi dengan penisbatan nama kita terhadap orang-orang seperti mereka,” jawabnya<br />“Terserah kau saja kalau begitu, Buntung.”<br />“Jangan panggil aku begitu!” teriaknya marah.<br />Tikus cokelat itu tertawa pelan sambil melirik ke ekor lawan bicaranya yang tinggal separuh.<br />“Cukup! Sekarang lebih baik kau bantu aku!”<br />“Apa?” Tanya si cokelat.<br /><br />Sebelum si hitam menjawab, sebuah pintu terbuka. Pintu sebuah kamar tidur.<br />“Shtt, jangan bersuara!” kata tikus hitam. Dari dalam kamar sesosok anak kecil keluar dan berjalan menuju ruang tamu. Kedua tikus yang berada di ruang tengah itu memperhatikan dengan mata mereka yang bulat. Anak lelaki itu mengambil sebuah stople kue yang ada di meja ruang tamu. Kedua tikus itu merayap menuju ruang tamu, memperhatikan anak tersebut. Setelah mengambil sebuah kue, anak itu memakannya. Hanya satu gigitan, kemudian ia taruh kue itu beserta stoples yang terbuka diatas meja, lalu kembali tidur. Kedua tikus itu saling pandang,<br /><br />“Kau lapar?”<br />“Sudah seharian aku tidak makan,” tak tunggu lama, mereka memakan kue-kue itu. Setelah kenyang, si hitam kembali berkata, “Kita akan menghabisi Tikus besar itu malam ini juga!”<br />“Setelah kue-kue lezat tersebut?”<br />“Memangnya kenapa? Nama kita sudah tercemar gara-gara mereka!”<br />“Lalu, bagaimana melakukannya?<br />“Begini …”<br /><br />#<br /><br /><br />“Kawan-kawan, tahukah kalian? Nama kita telah rusak karena manusia-manusia yang menjadikan sesama mereka sebagai tumbal untuk kekayaan mereka! Mereka membiarkan sesamanya hidup susah, hanya agar mereka senang! Manusia-manusia yang merasa dirugikan oleh sesamanya yang bertindak korup lantas menyebut para koruptor itu dengan nama kita: Tikus!<br /><br />“Terimakah kalian disamakan dengan perusak macam mereka? Kita mungkin memang merusak, namun kerusakan yang kita timbulkan tak dapat dibandingkan dengan apa yang telah mereka lakukan. Orang-orang ini telah merusak segala aspek kehidupan manusia sekitarnya dibalik layar komputer atau telepon genggam mereka.<br /><br />“Jangan salahkan orang-orang yang menamai mereka seperti itu, namun salahkanlah mereka! Karena merekalah nama kita tercemar, padahal kita adalah makhluk dengan kerja keras tinggi yang selalu siap diterpa tantangan hidup!<br /><br />“Sekarang adalah waktunya pembalasan! Kita harus membayar nama kita dengan mengenyahkan manusia-manusia seperti orang-orang itu, mungkin satu orang saja sudah cukup. Aku tahu siapa yang bias kita basmi. Aku pernah memasuki kediamannya, dan tahu seperti apa orangnya.<br />“Siapa yang ikut aku?”<br /><br />Teriaknya pada tikus-tikus yang berada di gorong-gorong ibu kota. Tikus-tikus besar itu tampak terpengaruh dengan apa yang ia ucapkan barusan, sehingga sebagian besar dari mereka memajukan moncongnya tanda setuju. “Kami ikut! Manusia-manusia itu sudah kelewatan!”<br /><br />Si cokelat yang dari tadi bersama tikus hitam juga nampaknya mulai berkoar. Semuanya bersemangat mengenyahkan manusia-manusia yang telah memperburuk nama mereka. Mereka tak sudi disandingkan dengan makhluk kotor seperti para kouptor itu.<br /><br />Akhirnya, segerombolan besar tikus menyeruak dari pinggiran-pinggiran trotoar, dari lubang-lubang saluran air yang tembus ke gorong-gorong. “Basmi mereka!”<br /><br />Tikus-tikus itu berlarian kesana kemari, kemudian membentuk sebuah kumpulan besar tikus yang bergerak menuju satu arah: perumahan elite ibu kota yang menjadi kediaman koruptor itu. Ditengah perjalanan, tak jarang terpampang spanduk-spanduk yang mengutuk para koruptor itu. Gambar tikus selalu saja ada di spanduk-spanduk itu. Slogan-slogan seperti “Basmi tikus berdasi!” atau “Jangan biarkan koruptor itu memakan uang rakyat!” terpampang didalamnya.<br /><br />“Bila manusia tidak mampu membasmi para koruptor itu, biarlah kami yang membasminya!”<br />Setelah menempuh perjalanan yang agak lama, tikus-tikus itu akhirnya sampai di depan gerbang perumahan itu. Penjaga gerbang tentu saja panik dan bingung. Sebagian dari mereka kabur, ada lagi yang berusaha membasmi hewan-hewan itu dengan pukulan tongkat. Sebagian lagi mengambil apa saja yang dapat digapai untuk melempari gerombolan pengerat itu.<br /><br />Tikus-tikus yang diserang itu marah dan menyerang para penjaga karena tak sedikit dari golongan mereka yang mati karena terkena pukulan. Namun sang tikus berekor buntung berteriak,”Jangan pedulikan mereka! Kita tak boleh menyerang apapun selain target kita malam ini!” akhirnya mereka berhasil menembus gerbang, kemudian kembali berlari menuju rumah yang dituju.<br /><br />“Itu rumahnya!” mereka kembali menemukan penjagaan didepan rumah itu. Penjaga yang panik melakukan segala yang mereka bias; menembak, memukul, menelepon polisi, dan sebagainya. Lebih banyak tikus yang mati namun gerombolan yang berisikan ratusan ekor tikus itu seperti tidak berkurang.<br />Akhirnya mereka berhasil menggerogoti pintu utama dan masuk. Gerombolan tikus itu berpencar ke segala arah, mengacak-acak seluruh isi rumah menghancurkan apa yang mereka temui. Si tikus buntung dan tikus cokelat serta belasan tikus lain masuk kedalam kamar tidur sang Tikus raksasa: koruptor itu.<br /><br /><br />#<br /><br /><br /><br />Pagi itu, wartawan-wartawan dari berbgai stasiun TV dan media cetak serta elektronik berdatangan ke rumah sang koruptor. Sang koruptor sendiri kini sedang dirawat di rumah sakit. Seluruh tubuhnya dipenuhi luka cakaran dan gigitan hewan pengerat. Para saksi dimintai keterangan di tempat. Para penjaga itu mengutarakan apa yang terjadi pada mereka semalam dengan penuh kebingungan dan rasa tak percaya. “Tikus-tikus it, kau lihat sendiri bangkai-bangkai mereka di luar sana, kan?” kata seorang dari mereka sambil menunjuk kearah taman. “Mereka ribuan, dating kemari hanya untuk mengacak acak rumah dan menyerang majikan kami! Sungguh kami tak tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga menyebabkan hewan-hewan itu melakukan hal ini.”<br /><br />Setelah memeriksa lebih jauh, polisi menemukan bahwa ranjang sang koruptor mendapati banyak cakaran. Tersembunyi memang, namun beberapa gurat diatas kasur masih dapat dibaca, “Kami bukan koruptor, dan mereka bukan kami! Kami adalah hewan-hewan liar yang hidup dari mengumpulkan benda-benda sisa. Jangan samakan mereka dengan kami!”<br /><br />Televisi di seluruh negeri akhirnya menayangkan berita yang sama di setiap waktu pada bulan itu.<br />Sepertinya tak ada lagi sebutan tikus untuk para koruptor di waktu yang akan datang …</div>Javad Husein Atthashttp://www.blogger.com/profile/10220984850414737181noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3817966502588640839.post-1465293456429835792009-04-20T00:06:00.000-07:002009-04-23T02:31:22.942-07:00Entri-entri sebelumnya dihapus karena....Aku ingin melepas dulu semua Entri yang berbau lawak, karena beberapa alasan....<br />Namun semua itu disimpan diarsip, hanya sebatas nostalgia......<br />Javad Husein Atthashttp://www.blogger.com/profile/10220984850414737181noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3817966502588640839.post-2400636113576690282009-04-19T23:54:00.000-07:002009-06-21T07:22:51.055-07:00Hikayat Tulang Kambing, Pasar dan Ibu<p class="MsoBodyText"><span lang="EN-US">Nenekku dari pihak Ummah adalah seorang wanita 55 tahun. Cukup muda bagi seorang nenek 8 cucu, dan cucu pertamanya berumur 16 tahun. Beliau bernama Tien—baca: ‘Tiin’, bukan ‘Tien’ seperti nama enci-enci.--, dan aku memanggilnya ‘Ibu’. Kakekku seorang jawa, namanya Arisman. Aku memanggilnya ‘Ayah’. Beliau sudah meninggal pada 21 desember 2007. </span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="EN-US"><span style=""> </span>Ketika adik keenam-ku lahir, Ibu datang ke Depok, mengunjungi cucu kecilnya. Sudah beberapa hari beliau disini, menemani Ummah-ku, juga menjaga si Adik. </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Kemarin, Ummah menyuruhku pergi ke pasar kemiri, pasar terbuka dengan segala tetekbengek kehidupan manusia dan kematian para ayam, kambing, sapi, serta ikan. 100 meter dari rumahku ada pasar tertutup, bersih, tidak terlalu bau pasar, namun harga daging tidak bersahabat. Kalau di Kemiri harga ayam Rp.14.000 , disana, Pasar Baru namanya, bisa mencapai Rp.22.000. Opo ora’ edhan!? </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Ibu ikut, segaligus sebagai penawar harga, dan peranku hanya pengantar serta kuli panggul. Tapi, kuli panggul ini tidak kalah necis dari orang kantoran. Dengan membawa sisir berbi -- sisir boneka Barbie adikku yang kucolong untuk sisir betulan-- setelah menyisir rambut gaya Elvis Peterseli,-- tokoh khayalan masa kecilku yang mirip Elvis Presley, aku berangkat.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US"><span style=""> </span>Perjalanan ditempuh 10 menit naik sepeda motor. Pasar Kemiri dekat dengan rel kereta api, dan kadang-kadang bunyinya memekakkan telinga bila kereta lewat, walaupun para penjaja disana santai saja seolah hanya suara lalat. </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Daftar belanjan pertama menunjukkan baha kami harus membeli paha kambing. Tiga buah. Di daftar dituliskan bahwa harga satu paha kambing sekitar Rp.52.000 sampai Rp.55.000, namun si abang kambing, begitu semua orang pasar menyebutnya, memasang harga Rp.60.000! </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">“55 aja, deh Bang!” kataku.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Ajaibnya, setelah melihat wajah ‘ArJaS’-ku, -- Arab-Jawa-Sunda--, juga wajah Ibu yang sedikit menyerempet wajah Hindi, si abang bilang, “Hatta Ente tawar 58 Ane ga bakal ngasih! Disini udah paling rokhis!” katanya padaku, bukan pada Ibu. Seandainya pada Ibu, sudah kumaki-maki<span style=""> </span>habis bersih, kalau dia akan memukul, kaki radapincang-ku masih kuat menghindar cepat sejauh 5 meter.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">“Gharam!!! Orang mana si abang berwajah Batak ini!? Faseh betul bahasa arab-betawinya!”, pikirku. “Ya udah deh, bang! Paha 3 biji, tulangnya pisahin, ga usah dibawa.” Kataku santai selagi Ibu memilih bawang di lapak sebelahnya. Dan transaksi selesai. </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Selanjutnya ke tukang ayam, pria ramah berkumis dengan topi, dan celana pendek, dan hanya dia yang Ummah-ku tahu, ayamnya tidak disuntik. Tiga ekor ayam telah kudapatkan, selanjutnya…… Pulaaaannnngggggg!!!!!! </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Keluar dari lingkungan pasar, aku berhadapan dengan jalan raya lagi. Lampu hijau tinggal 19 detik lagi ketika kulihat. Dan aku langsung melaju kencang serta menghitung mundur keras-keras. Sontak Ibu bingung. Beliau kira ada sesuatu yang buruk. Kalian tahu? Menunggu lampu merah yang 98 detik itu rasanya satu jam. Dan…….. aku berhasil menerobos lampu hijau yang tinggal 2 detik di saat terakhir. </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">“Ada apa, sih!?” kata Ibu ketus.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">“Ngincer lampu ijo, Bu!” jawabku. Dan beliau mengetak (memukul kepala dengan ruas tengah pada jari tengah), tapi aku bersyukur pada Allah yang mahakuasa – yang telah memberiku makan dan minum dan masih mengizinkanku menghirup udara-Nya, meskipun sudah kotor karena pemanasan global yang ditimbulkan hambanya—karena aku memakai helm ketika itu. </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Pulang kerumah, Ummah sudah ada didepan pintu memandikan Nafisah, adik bayiku, dengan sinar matahari sebagaimana bayi lainnya.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">“Dapet semua?” tanyanya.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">“Iya. Paha kambing tiga, ayam tiga, kan? Terus bawang?”</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">“Iya. Tulang kambingnya? Kau bawa, ‘kan?”</span></p> <p class="MsoBodyText" style="margin-left: 36pt;"><span lang="EN-US">dan langsung pikiran aneh menyerangku. Tulang? Dibawa? Untuk apa? “Kenapa harus dibawa, Mah!?” </span></p> <p class="MsoBodyText" style="margin-left: 36pt;"><span lang="EN-US">“Apa kau pernah makan gulai yang tidak ada tulang kambing didalam mangkoknya!? Tulang itu bikin gurih!” </span></p> <p class="MsoBodyText" style="margin-left: 36pt;"><span lang="EN-US">Astaghfirullah! Oh my god! Betapa bodohnya aku ini….. tulang paha memang membuat gurih pada gulai! </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Akhirnya aku memutuskan kembali lagi ke pasar, Ibu juga ikut lagi setelah kularang. Sampai dipasar yang mahasangatmenyumpekkansekali itu, kami key abang kambing lagi. Ibu meminta tulangnya,”Maaf ya, Bang! Ibu ga tau kalau cucu yang satu ini begitu goblok.” Enggak! Ibuku tidak akan bilang seperti itu. Tadi itu ngarang. Yang aslinya, “Maaf ya, Bang! Tadi ibu nggak sadar kalau tulangnya ketingalan! Saya minta lagi, ya?” </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">Dan si abang bilang, “Gapapa, Bu! Itu hak ibu sebagai konsumen!” katanya sambil tersenyum. Ternyata si abang kambing tu baek juga, ya? Dan aku pulang kerumah dengan tulang kambing! Tulang kambing! Tulang kambing! Tulang! Tulang! Tulang! Kambing! Kambing! Kambing! Pasar! Pasar! Pasar! Kemiri! Kemiri! Kemiri! Depok! Depok! Depok! Jawad! Jawad! Jawad!</span></p><p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><br /><span lang="EN-US"></span></p><p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;">bahasa arab<br /><span lang="EN-US"></span></p><p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">*hatta: sampai/walaupun</span></p><p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">*ente: Anta: kamu(laki2)</span></p><p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">*ane: Ana: saya</span></p><p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span lang="EN-US">*rokhis: murah</span></p>Javad Husein Atthashttp://www.blogger.com/profile/10220984850414737181noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3817966502588640839.post-51718603185023770632009-04-16T00:24:00.000-07:002009-04-19T23:50:15.657-07:00Tanpa Aku atau Dia, Hanya Kau dan Dirimu<meta http-equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CR@SQNE%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="State"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="place"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="City"></o:smarttagtype><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id=ieooui></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ilalang semakin memanjang menjulur kearah awan, mengerubungi kakimu. Kau melangkah saja terus seperti tak ada apa-apa. Bagimu, ilalang tidak dapat membuatmu terluka, karena sebuah luka menganga dengan lebar tanpa malu-malu dihatimu. Kau melempar ingatan kebelakang, menjadikan semua kenangan itu seolah berada didepanmu. Kau lihat lagi dirimu yang gemulai, bebas meliuk seirama angin. Juga pakaian indahmu. Juga seluruh kebahagiaan yang kau dapat kala itu. Namun seluruhnya tak meninggalkan guna barang sedikitpun, karena telah tak ada lagi kehidupanmu yang dulu, yang gemulai, dengan segala kebahagiaan.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;">Mungkin kakimu lelah sehingga kau berhenti melangkah, dan menduduki ilalang kering dibawahmu itu. Matamu melirik utara, dan hanya kesenyapan yang kau temukan. Tak ada pagi, siang, sore, atau malam bagimu, karena semuanya sudah tak berarti, dan kaupun berjalan goyah tanpa arti. Dimana lagi akan kau cari puing nalar yang biasa menyertaimu itu? Dimana lagi? </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;">Utara telah membarat, barat telah mentimur, dan timur telah menyelatan, serta selatan telah mengutara. Apa maksudnya itu, kau tak tahu. Lagipula, apa gunanya bila kau tahu? Yang kau tahu hanya pikiran rasional dan masuk akal, lalu sekarang ini? Apakah hidupmu masuk akal? Kau tidak mau lagi mendengarkan perkataan-perkataan, karena kau harus melepas lelah dan penat dengan tidur, dan harus bangun pagi untuk kembali berjalan, walau tak ada pagi bagimu. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;">Sejuta pengalaman hidup telah kau telan, tanpa pernah kau muntahkan lagi. Karena apa gunanya memuntahkannya lagi? Kau telah mencari apa yang kau inginkan sedari dulu. Apa kau telah menemukannya? Kau tak menjawab. Bagimu, tak perlulah itu dijawab, karena kau tahu pasti bahwa kau belum menemukannya. Lalu sekarang mau apa kau? Dengan segala ketidak sempurnaan dirimu saat ini? </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;">Setelah kau dengar pertanyaan itu, kau menangis tersedu-sedan, menyesali apa yang telah lalu. Apa gunanya? Lebih baik kau bangkit, tatalah semangatmu, dan berjalan lagi walalu tanpa arti, tanpa tujuan, namun setidaknya itu lebih baik dari menangis.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;">Kau mengatakan tidak bisa karena kau masih ingin menangis, menikmati tangisan, juga kesedihan. Terserah padamu saja kalau begitu, karena bila kau lihat lagi, tak ada apapun yang sepertimu, yang senang kala diselimuti kesedihan. Kau menghadap langit, mengadu pada bintang yang sudah jelas tidak mendengar karena jauh, juga karena ia memang tidak bertelinga! Kemana perginya pikiran rasionalmu? Apakah kau sudah menyerah pada asa, dan membuang semua <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">gaya</st1:city></st1:place> nalar usangmu?</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ketika kau tidak lagi percaya pada keajaiban karena menganggap itu kuno, kau tegak angkuh, meskipun itu tak bisa meruntuhkan kesan bahwa kau sebenarnya penggemulai yang hebat. Lalu sekarang? Lalu sekarang? Lalu sekarang? Bisa apa dirimu? Sudahlah, ikuti saja apa hatimu bilang, jangan sombong! Kau memang sudah tidak memegang keadaan akal ilmiah itu lagi, <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">kan</st1:state></st1:place>?</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;">Lalu kau melangkah lagi sambil menghimpun alasan bahwa segalanya bisa saja masuk akal, seperti bagaimana ceritanya kau bisa sampai dalam kondisi ini. Apa gunanya lagi kau berpegang pada ke-masukakal-an, kala sesuatu yang masuk akal sudah menjauh darimu, tanpa pamit? Akan membaik jadinya kalau kau lepas seluruh kesombongan serta egomu yang luar biasa besar dan keras itu dan berpaling pada apa yang hatimu bilang. Kembalilah, kembalilah. Tak berguna lagi kau berpegang pada ideologi lamamu!</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;">Tak ada fisika, metafisika pun tak ada. Yang ada hanyalah keajaiban tak berakhir, yang sudah tercipta ribuan tahun sebelum kau tercipta. Keajaiban itu tak berujung dalam dirinya, meskipun kau menciptakan ujung baginya. Dan kau sekarang bisa menyebut keajaiban itu dengan sebutan ‘Kata-kata’…….</p> Javad Husein Atthashttp://www.blogger.com/profile/10220984850414737181noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3817966502588640839.post-58445159782886297602009-04-14T07:43:00.000-07:002009-04-19T23:50:15.661-07:00Dalam Kesunyian Asa<meta http-equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CR@ZQNE%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="place"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="City"></o:smarttagtype><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id=ieooui></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Dalam kesunyian asa, dia duduk disebuah lorong buntu yang membatasi dua buah apartemen. Senyum tipis selalu menyertai wajahnya kapanpun, dalam kondisi apapun. Tak ada yang mengenalnya, dan memang dirinya tak ingin dikenal. Impiannya satu: mengakhiri hidup dengan ketentuan alam, karena tak ada lagi yang ingin dan bisa ia capai di tempat mortal yang orang-orang sebut Bumi. Ia melempar pandang nun jauh keatas, pada langit tak berujung, tak bertepi. Sosoknya bungkuk, dengan janggut dan kumis tak beraturan. Rambutnya sewarna kafan, menandakan kafan semakin dekat padanya. Orang biasa menyebutnya, dan semua orang yang tampak seperti dirinya dengan sebutan Gembel, sangat umum. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Ia tak peduli akan apa yang orang katakana padanya. Tak ada bahagia ataupun kesedihan padanya saat ini. Ia terlalu lama hidup, dan bukan hidup yang enak, pula. Hari-hari ia lalui tanpa sesuatupun mengisi asanya. Sunyi. Dalam kesunyian asa ia melihat semuanya bersuka cita. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Kota</st1:place></st1:city> ini, orang-orangnya, bahkan para lalat yang biasa ia jadikan rival perebutan makanan di tempat-tempat umum. Tapi ia tidak. Tidak senang, tidak pula nelangsa. Tak mau ia bicara setelah tak ada lagi yang bisa ia peroleh dalam kefanaan ini. Pikirnya, buang-buang energi saja.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Tak ada dialog dalam hidupnya, namun mereka yang pernah berpapasan, atau bahkan sekedar beradu pandang dengannya, akan menjadikannya dialog. Kala teman-teman senasibnya yang tidak ia kenal itu mengunjungi rumah-rumah Tuhan dari berbagai keyakinan untuk mengambil sedikit rezeki dari para pengurusnya, seperti Imam Masjid atau Pendeta, ia tak ikut bersama mereka. Ia malu pada Tuhan karena meminta mati, seakan tak mensyukuri jalur takdirnya yang membuatnya masih bisa berdiri walaupun bungkuk. Namun apa daya, ia ingin itu, dan apapun hal di kiri dan kanannya tak dapat membuatnya menafikan keinginannya.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Tak mau ia membuka mulut kecuali untuk makan dan terkadang untuk meneteskan liur dan membunyikan dengkur akibat lelah dengan hidup, atau untuk sedikit bersin yang selalu ia tutup dengan sapu tangan yang telah bertambal bermacam-macam kain, mulai dari katun tipis, sampai potongan karpet hijau Musolla. Temannya berbagi hal adalah burung-burung, yang entah apa alasan mereka, masih mau bertahan dikota yang penat begini, padahal mereka bisa membelah angkasa dengan kepakan-kepakan indah. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Suatu hari, dalam keheningan asanya, ia lihat <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">kota</st1:place></st1:city> ini sibuk, untuk sesuatu yang tak ia mengerti. Orang-orang kaya, para Gembel, manusia yang baru memulai umurnya, manusia yang hampir mati, menghambur kepada satu titik, seakan itu adalah bahtera Nabi Nuh, yang akan menyelamatkan mereka dari banjir besar. Ia tak terlalu peduli, karena menurut percakapan penduduk yang didengarnya, akan ada perayaan dibalai besar <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">kota</st1:place></st1:city>. Baginya, itu sangat tak penting. Setelah semua penduduk ada di balai besar itu, keadaan disekitar dirinya bertambah lenggang. Sekali lagi ia memohon mati pada Tuhan, memintanya menyudahi nafasnya. Tak didengar. Setidaknya itu yang ia rasa. Ia tak tahu apapun tentang Tuhan, sama seperti orang lain tak tahu siapa dirinya. Mungkin sebenarnya tuhan mendengar, namun tak ia jawab dalam bentuk suara, juga tak langsung ia kabulkan karena alasan yang sebenarnya adalah yang terbaik bagi sang peminta.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Hujan mengguyur, dari rintik menjadi segerombolan air yang hobi mengeroyok. Hari sudah sore dan air membasahi jidatnya, juga para penduduk <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">kota</st1:place></st1:city> dibalai itu. Tak ada artinya hujan ini baginya, karena kesunyian asanya sudah sampai pada batasan ‘Tak Dapat Merasakan Apapun’, dan itulah yang menjadikannya masih dapat bernafas hingga saat ini, walaupun keinginannya berkata lain. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Penduduk <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">kota</st1:place></st1:city> mulai memasuki rumah-rumah mereka, mungkin karena pertunjukan telah selesai, atau mungkin juga karena tak kuat menahan rasa dingin yang menembus sumsum. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Seorang pemabok yang sedang mabok mendekatinya, memecahkan botol minuman kerasnya, lalu mengambil sebuah linggis. Ia meminta uang darinya. Sungguh tak tahu diri meminta uang dari seseorang yang bahkan tak pernah punya permintaan selain mati. Tentu saja pemabok ini marah setelah ia tak diberi uang. Sang pemabok mengangkat linggis tinggi-tinggi, lalu memukulnya.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Entah apa dalam benak tuhan saat ini, tak ada sebuah luka dan rasa sakitpun padanya, malah, sang pemabok itu tersungkur tewas. Sekali lagi, ia gagal menjumpai Sang Ajal. Tuhan tak memberi apa yang ia inginkan, dan malah memberinya pada orang lain yang tidak menginginkannya. Dalam kesunyian asa, ia pergi meninggalkan mayat pemabok itu, sambil mendumel pada Tuhan.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span style=""> </span>Ditulis Dalam Kesunyian Asa , Terinspirasi Dari Sebuah Puisi dengan Judul dan Penulis yang Sama, Dua Tahun Lalu……<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><i style="">Muhammad Jawad Husein Alatas,<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span style=""> </span>14 April, 2009.<o:p></o:p></i></p> Javad Husein Atthashttp://www.blogger.com/profile/10220984850414737181noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3817966502588640839.post-76593184028468354342009-02-12T23:33:00.001-08:002009-02-13T06:03:58.389-08:00<meta http-equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 9"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 9"><link rel="File-List" href="file:///C:/DOCUME%7E1/user/LOCALS%7E1/Temp/msoclip1/01/clip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:DoNotOptimizeForBrowser/> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:Wingdings; panose-1:5 0 0 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:2; mso-generic-font-family:auto; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 268435456 0 0 -2147483648 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Mulai dari mana, yah? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Humm.. nama aja dulu. Okay, namaku Muhammad Jawad Alatas. Anak pertama dari 6 bersaudara (Fuih… Ribet nanganin adek 5 ekor, hehehe) lahir hari Valentine tahun 1993. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Sekolah….? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Ga sekolah:D bukan karena di DO atau bodoh minta ampun, aku ga sekolah karena dalam masa Hibernasi, wadhuh, dalam masa istirahat, deng!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Istirahat kenapa? Abis ngebangun ulang Candi Borobudur? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Nggak! Cuma abis patah tulang kaki pas maen ice skating! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Lagian bego pake maen!:p<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Jaga mulutmu, kawan! X-(<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Trus, sekarang dirumah ajah!?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Yups!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Kerjanya apa?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Dirumah?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Ya!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Jadi Manusia Setengah Dewa dirumah sendiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Heh? Ga ngerti, ah!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Baca: Anak Setengah PRT!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Ngebanyol, nih ceritanya!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Nggak! Bener, deh! Aku ada jadwal kegiatanya, kok!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Coba sini’in!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Okeh!</span><span style="font-family: Wingdings;" lang="EN-US"><span style="">J</span></span><span style="" lang="EN-US"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">05:00: Bangun terus shalat subuh! Biasanya karena diguyur. (naas nian anda, Wad)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">06:00: Biasanya jam segitu beberes rumah yang sejam kemudian berantakan lagi gara-gara adek yang tak tahu aturan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">07:00: Nganterin adek-adek (4 orang!!) naek motor fit-X butut ke sekolahan. Pula, aku bukan pengendara yang baik!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">08:00: Nyapu Ngepel (Fuah! #:-S) abis gitu ngambil susu di daerah Kukusan!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">09:00: Biasanya tidur siang dan pas bangun rasanya mau ngulitin orang yang paling pertama keliatan idup-idupsaking sumpeknya ngadepin hari! (Sadis!: Jawad featuring. Afgan!) Hwekhwekhwek…..<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">12:00: Nganterin makan siang adek-adek!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">13:00: Ngegiling Yoghurt! Ga ngerti, ‘kan? Maksudnya ngebelender yoghurt pake homogenaizer. Ga tau, kan?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">17:00: Siap-siap shalat maghrib.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">20:00: Ngenet!!! (Akhirnya….)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">22:00: Disuruh tidur ma Abah siap-siap buat besok kerja Romusha lagi! Parahnya, komputernya direbut! Biar, lah!! Dia ini yang masang speedy di rumah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">24:00: Biasanya baru tidur jam segitu walaupun dah ngerebah dari jam 10 malem!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Panjang juga jadwalnya, yah! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Iya!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Terus, tentang dirimu yang lain?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Suka ngerancu soal sastra padahal ga ngerti sastra tuh apa! (Ini obsesi Kompulsif karena pengin jadi penulis ga jadi-jadi!)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Bukan pengendara motor yang baik!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Ukuran kaki dan kepala terlampau besar: Sepatu 45, Kopiah 11!(‘Adjieeeebb!)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Semales-malesnya aku buat rapihin rumah, aku ga pernah bisa buang sampah sembarangan, ngucurin air buat hal ga penting, nyalain kompor sementara penggorengan atau pancinya belom diatas kompor, ngedahak sembarangan (maaf kalo anda lagi makan pas baca ini!), dan mubazirin hal-hal lainnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Kenapa ga bisa mubazir?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Waktu aku masih TK, Abahku bilang kalau semua benda tuh hidup! Tapi kita ga bisa denger suara mereka. Makannya aku ga mau mubazirin barang! Gara-gara nasehat orang tua pas kecil jadi gini, deh! Tapi positif, toh!?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">#Kamu mirip ma sapa?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US">~Jangan ketawa, yah? Banyak yang bilang aku mirip tukang baso depan komplek, tukang mie ayam, BARACK OBAMA (ga ada deng yang bilang gitu!: p),<span style=""> </span>Kata beberapa orang aku mirip Mischa Chandrawinata. Ada lagi yang lebih aneh! Ada yang bilang aku mirip Marit Larsen versi cowok! Tau dia, kan? Personil Duo M2M yang pipinya nge-bulldog itu!(Pipiku nggak, loh!) Ga tau? Googling aja! Tega bener, yah orang-orang yang bilang aku kayak dia!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN-US"><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> Javad Husein Atthashttp://www.blogger.com/profile/10220984850414737181noreply@blogger.com1