Kamis, 11 Maret 2010

Malam

Malam masih duduk di tempatnya sekarang, di kaki langit: menunggu gilirannya melengkapi waktu. Ia terdiam. Hari masih senja, belum gilirannya. Ia baru saja bersiap menghitamkan langit seperti biasa. Sejak jutaan tahun selalu saja begitu. Alam memang memberikan tugas itu padanya. Dan nanti, sekitar satu atau dua jam lagi, ia akan menggelapkan semuanya. Selalu saja seperti itu, dan ia tak pernah mengeluh atas mandat ini: memang takdirnya.

Langit masihlah berwarna jingga. Awan-awan kelabu juga bertengger, membentuk onggokan gunung-gunung langit diatas sana, mempercantik angkasa. Burung-burung terbang kembali ke sarang mereka. Anak anak kecil juga begitu, dengan teriakan orang tua mereka dari dalam rumah, atau pekikan pelan pembantu yang kelelahan setelah bekerja seharian, atau dijemput langsung, mereka semua pulang ke rumah-rumah mereka setelah selesai bermain atau mungkin mengikuti kursus sana-sini. Para pekerja kantoran atau buruh-buruh pabrik pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing, melepas penat dan menunggu Malam datang bersama kegelapannya, melelapkan setiap orang. Dari dulu selalu saja begitu. Memang banyak perubahan dalam gaya hidup masyarakat sekarang, tapi selalu saja semuanya sama: istirahat ketika hari menggelap, walaupun beberapa kelompok tetap saja terbangun.

Malam menggeliat sejenak. Tangan hitamnya yang besar haruslah memadamkan langit: sekarang, menurut jarum jam alam, adalah waktu kerjanya. Akhirnya ia melompat dari tempatnya kini duduk, mengusir warna jingga dari langit, menggantinya dengan ungu tua. Belum larut. Kakinya dengan cekatan melompat dari lapisan udara satu ke yang lain, dan tangannya yang seolah-olah kuas itu menebarkan ketenangan bersama gelap. Malam telah tiba. Ini adalah tugasnya. Selalu saja menjadi tugasnya.

Telah sempurna. Langit telah sepenuhnya hitam, namun manusia masih saja ada di luar. Tidak seperti dulu, batin Malam, kini kehidupan telah berubah. Saat ini malam duduk diatas langit, merajai waktu untuk sementara sampai pagi datang. Kepalanya mengadah keatas, ke kegelapan abadi, yang tak bisa dijangkau mata manusia kecuali dengan menggunakan peralatan-peralatan modern. Ia mengadah ke luar angkasa. Bertanya-tanya ia dalam hati, sebegitu lamakah umurnya? Berapa ribu abad ia selalu bersama langit dan tugas ini, menampakkan buintang-bintang, membantu bulan bersinar, memberi kehidupan pada para nokturnal, dan memberi waktu istirahat pada makhluk-makhluk lainnya? Ah, sudah berapa lama?

Kadang sendiri ia berpikir, mengapa ia tak pernah bosan dengan tugasnya yang ini-ini saja: menggelapkan langit. Gelap? Identik dengan keburukan, bukan? Apakah ia memperburuk langit? Tidak, langit indah karenanya, dan Siang tak bisa menampilkan keindahan langit pada setiap orang, karena banyak dari mereka yang merasakan panasnya. Namun duduk memandangi langit pada malam hari, bukankah itu sebuah kedamian? Ah, tidak, dia tidak memperburuk langit.

Lalu ia berpikir, tidakkah kegelapannya berarti membuat segalanya tak terlihat? Ya, kadang dia berpikir seperti itu. Tapi bukankah segala sesuatu harus punya penutup? Karena tak ada lagi keindahan mutlak. Bahkan manusia bisa saling bunuh apabila suatu perkara diperjelas. Ya, perannya adalah sebagai tabir dari hal-hal yang tidk perlu diketahui oleh sesuatu yang lain.
Kegelapannya membuat manusia lelap. Tidak juga. Banyak dari mereka yang senang akan kegelapannya.

#

Sebuah guncangan di belahan dunia membuat Malam tersentak dari ingatannya yang indah itu. Ia, dari atas langit, tempatnya saat ini, tahu apa yang terjadi: manusia lagi-lagi membantai sesamanya. Lihatlah negara yang indah itu. Telah sering tanahnya dijatuhi peledak, telah habis bersih wilayah itu digempur, telah banyakj terluka rakyatnya, telah meredup harapan mereka akan kedamaian. Siapa? Yang melakukannya? Ahh, biang kekacauan masihlah sama sejak enam puluh tahun yang lalu: negara tetengganya. Tetangga? Siapa mengizinkan negara tetanga itu menduduki wilayah mereka? Tak ada. Maka itulah, manusia-manusia yang lebih buruk dari seburuk-buruknya hewan itu mengambil teritori negara itu. Untuk diduduki? Ah, apapun alasannya, tetap saja.

Malam tak memutuskan untuk menapki bumi untuk menyaksikanperistiwa itu. Buat apa? Selalu begitu, kan?

Malam tahu benar, inilah manusia. Dari dulu tetap sama: untuk kekuasaan, apapun dilakukan. Meratap ia mengadu pada Mahakuasa tentang makhluk-makhluk yang ia naungi dengan kegelapan untuk beristirahat, kelam tubuhnya memang selalu begitu, namun sejatinya dengan perannyalah manusia dapat bercahaya, dalam waktu bersamaan mereka juga kelam.

Di belahan bumi lain, gemerlap mewah kesenangan orang-orang kaya juga tetap begitu: glamor dan menggiurkan. Malam tahu perannya bukan saja untuk menidurkan makhluk-makhluk kelelahan. Ia juga membangunkan manuisa-manusia, sebagian mensyukuri kehidupan dan karunia yang diberikan olehnya dengan mengadahkan kepalanya pada yang Mahakuasa, memunajatkan dan melantunkan doa-doa dan permohonan ampun, khidmat dan khusyu’ dalam kesunyian dan kesendirian, berdua saja dengan penciptanya. Sebagian lagi, dengan ‘dalih menikmati’ yang diberikan kepada mereka dari penciptanya, bersenang-senang dengan cara yang kelihatannya tidak kotor. “Bukankah berpesta pora adalah salah satu cara mensyukuri malam?”, dalih mereka.

Malam selalu suka dengan orang-orang pertama, yang tidak melepas ikatan mereka dari sang pencipta, melakukan apa yang ia perintahkan. Dan Malam, atas kegelapan yang diberikan Alam kepadanya, menyayangkan kelakuan buruk manusia pada waktu ia bertengger diatas langit, melaksanakan mandatnya.

Ah, kadang ia juga menyaksikan betapa tidak nyenyak tidur mereka yang kelaparn didalam dirinya, dan kadang bermimpi mendapat makannan dari para penguasa itu. Para penguasa itu? Heh, mereka bisa apa? Menyengsarakan rakyat? Sudah kodrat mereka, barangkali?

Malam, dengan kelembutanya selalu merasa marah atas fenomena sosial seperti itu. Namun ia ini apa? Ia hanya kegelapan sunyi yang hanya bisa begitu. Perannya itu-itu saja.

Tapi sungguh berlama-lama dalam kegelapan dan jati diri sebagai kegelapan itu sendiri membuat Malam merindukan saat-saat ia bercahaya dahulu. Ya, ia pernah bercahaya. Cahaya yang indah, jauh lebih indah dan menentramkan daripada sinar mentari atau bulan yang bersinar didalam dirinya. Cahaya itu adalah cahaya Malam: cahaya yang dipancarkan oleh sang Malam itu sendiri.

#

Ratusan tahun lalu, saat belum ada gedung-gedung pencakar langit, belum ada sarana komunikasi sepraktis saat ini, belum ditemukannya tekhnologi mutahkir, belum maraknya pengobatan modern, belum banyaknya mobilitas manusia, di saat tugasnya, Malam tidak duduk dilangit. Tak seperti biasanya, ia mendekati permukan bumi. Heran ia kala merasakan tubuhnya selalu bercahaya, padahal Alam telah memberi kodrat gelap padanya.

Aura apa? Aura apa yang membuatnya begini? Entahlah, maka itu ia mencari tahu. Ditelusurinya setiap jengkal tanah, memutari seluruh petak planet ini. Semakin ia mencari tahu, semakin ia tak tahu, semakin ia bercashaya. Kenapa? Kenapa? Ia tak tahu: belum juga tahu.

Tapi semakin lama, suara pelan yang sedari tadi tanpa ia sadari mengusiknya, kini bertambah keras. Suara-apa? Terdengar seperti...munajat. ya, munajat-munajat itu terlantun dari bibir ribuan orang diseluruh dunia, dengan warna kuli, kebangsaan, bahasa, dan aksen yang berbeda. Munajat-munajat itu terbang tersampaikan ke langit, bercahaya, membuat malampun bercahaya: cahaya yang tidak terlihat oleh mata, tapi menentramkan.

Ah, Malam merasa bangga dengan perannya, karena dibalik kegelapannya, cahaya hati mengudara, menyibak tabir hitam, menembus langit, tersampaikan pada Tuhan. Alunan munajat itu semakin keras, menentramkan hatinya yang hitam. Hitam, namun bercahaya. Suara pemanggil Tuhan itu bergerombol membentuk jutaan garis putih, berpusat pada satu titik diatas langit, membuat segalanya terlihat benderang. Malam merasa jauh lebih bercahaya daripada Siang. Indah, menggetarkan.

#

Itu dulu, kala bumi masihlah terlihat gelap karena minimnya penerangan, saat mayoritas manusia masih ingat dalam arti sesungguhnya pada Penciptanya, saat aliran keajaiban masih memenuhi atmosfer. Saat ini, kala penerangan membuat mata selalu mengerjap, kala segalanya tak lagi tertabiri oleh gelap, Malam merasa kehilangan cahayanya, cahaya yang menjadi jati dirinya.

1 komentar: