Selasa, 14 April 2009

Dalam Kesunyian Asa

Dalam kesunyian asa, dia duduk disebuah lorong buntu yang membatasi dua buah apartemen. Senyum tipis selalu menyertai wajahnya kapanpun, dalam kondisi apapun. Tak ada yang mengenalnya, dan memang dirinya tak ingin dikenal. Impiannya satu: mengakhiri hidup dengan ketentuan alam, karena tak ada lagi yang ingin dan bisa ia capai di tempat mortal yang orang-orang sebut Bumi. Ia melempar pandang nun jauh keatas, pada langit tak berujung, tak bertepi. Sosoknya bungkuk, dengan janggut dan kumis tak beraturan. Rambutnya sewarna kafan, menandakan kafan semakin dekat padanya. Orang biasa menyebutnya, dan semua orang yang tampak seperti dirinya dengan sebutan Gembel, sangat umum.

Ia tak peduli akan apa yang orang katakana padanya. Tak ada bahagia ataupun kesedihan padanya saat ini. Ia terlalu lama hidup, dan bukan hidup yang enak, pula. Hari-hari ia lalui tanpa sesuatupun mengisi asanya. Sunyi. Dalam kesunyian asa ia melihat semuanya bersuka cita. Kota ini, orang-orangnya, bahkan para lalat yang biasa ia jadikan rival perebutan makanan di tempat-tempat umum. Tapi ia tidak. Tidak senang, tidak pula nelangsa. Tak mau ia bicara setelah tak ada lagi yang bisa ia peroleh dalam kefanaan ini. Pikirnya, buang-buang energi saja.

Tak ada dialog dalam hidupnya, namun mereka yang pernah berpapasan, atau bahkan sekedar beradu pandang dengannya, akan menjadikannya dialog. Kala teman-teman senasibnya yang tidak ia kenal itu mengunjungi rumah-rumah Tuhan dari berbagai keyakinan untuk mengambil sedikit rezeki dari para pengurusnya, seperti Imam Masjid atau Pendeta, ia tak ikut bersama mereka. Ia malu pada Tuhan karena meminta mati, seakan tak mensyukuri jalur takdirnya yang membuatnya masih bisa berdiri walaupun bungkuk. Namun apa daya, ia ingin itu, dan apapun hal di kiri dan kanannya tak dapat membuatnya menafikan keinginannya.

Tak mau ia membuka mulut kecuali untuk makan dan terkadang untuk meneteskan liur dan membunyikan dengkur akibat lelah dengan hidup, atau untuk sedikit bersin yang selalu ia tutup dengan sapu tangan yang telah bertambal bermacam-macam kain, mulai dari katun tipis, sampai potongan karpet hijau Musolla. Temannya berbagi hal adalah burung-burung, yang entah apa alasan mereka, masih mau bertahan dikota yang penat begini, padahal mereka bisa membelah angkasa dengan kepakan-kepakan indah.

Suatu hari, dalam keheningan asanya, ia lihat kota ini sibuk, untuk sesuatu yang tak ia mengerti. Orang-orang kaya, para Gembel, manusia yang baru memulai umurnya, manusia yang hampir mati, menghambur kepada satu titik, seakan itu adalah bahtera Nabi Nuh, yang akan menyelamatkan mereka dari banjir besar. Ia tak terlalu peduli, karena menurut percakapan penduduk yang didengarnya, akan ada perayaan dibalai besar kota. Baginya, itu sangat tak penting. Setelah semua penduduk ada di balai besar itu, keadaan disekitar dirinya bertambah lenggang. Sekali lagi ia memohon mati pada Tuhan, memintanya menyudahi nafasnya. Tak didengar. Setidaknya itu yang ia rasa. Ia tak tahu apapun tentang Tuhan, sama seperti orang lain tak tahu siapa dirinya. Mungkin sebenarnya tuhan mendengar, namun tak ia jawab dalam bentuk suara, juga tak langsung ia kabulkan karena alasan yang sebenarnya adalah yang terbaik bagi sang peminta.

Hujan mengguyur, dari rintik menjadi segerombolan air yang hobi mengeroyok. Hari sudah sore dan air membasahi jidatnya, juga para penduduk kota dibalai itu. Tak ada artinya hujan ini baginya, karena kesunyian asanya sudah sampai pada batasan ‘Tak Dapat Merasakan Apapun’, dan itulah yang menjadikannya masih dapat bernafas hingga saat ini, walaupun keinginannya berkata lain.

Penduduk kota mulai memasuki rumah-rumah mereka, mungkin karena pertunjukan telah selesai, atau mungkin juga karena tak kuat menahan rasa dingin yang menembus sumsum.

Seorang pemabok yang sedang mabok mendekatinya, memecahkan botol minuman kerasnya, lalu mengambil sebuah linggis. Ia meminta uang darinya. Sungguh tak tahu diri meminta uang dari seseorang yang bahkan tak pernah punya permintaan selain mati. Tentu saja pemabok ini marah setelah ia tak diberi uang. Sang pemabok mengangkat linggis tinggi-tinggi, lalu memukulnya.

Entah apa dalam benak tuhan saat ini, tak ada sebuah luka dan rasa sakitpun padanya, malah, sang pemabok itu tersungkur tewas. Sekali lagi, ia gagal menjumpai Sang Ajal. Tuhan tak memberi apa yang ia inginkan, dan malah memberinya pada orang lain yang tidak menginginkannya. Dalam kesunyian asa, ia pergi meninggalkan mayat pemabok itu, sambil mendumel pada Tuhan.

Ditulis Dalam Kesunyian Asa , Terinspirasi Dari Sebuah Puisi dengan Judul dan Penulis yang Sama, Dua Tahun Lalu……

Muhammad Jawad Husein Alatas,

14 April, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar