Kamis, 16 April 2009

Tanpa Aku atau Dia, Hanya Kau dan Dirimu

Ilalang semakin memanjang menjulur kearah awan, mengerubungi kakimu. Kau melangkah saja terus seperti tak ada apa-apa. Bagimu, ilalang tidak dapat membuatmu terluka, karena sebuah luka menganga dengan lebar tanpa malu-malu dihatimu. Kau melempar ingatan kebelakang, menjadikan semua kenangan itu seolah berada didepanmu. Kau lihat lagi dirimu yang gemulai, bebas meliuk seirama angin. Juga pakaian indahmu. Juga seluruh kebahagiaan yang kau dapat kala itu. Namun seluruhnya tak meninggalkan guna barang sedikitpun, karena telah tak ada lagi kehidupanmu yang dulu, yang gemulai, dengan segala kebahagiaan.

Mungkin kakimu lelah sehingga kau berhenti melangkah, dan menduduki ilalang kering dibawahmu itu. Matamu melirik utara, dan hanya kesenyapan yang kau temukan. Tak ada pagi, siang, sore, atau malam bagimu, karena semuanya sudah tak berarti, dan kaupun berjalan goyah tanpa arti. Dimana lagi akan kau cari puing nalar yang biasa menyertaimu itu? Dimana lagi?

Utara telah membarat, barat telah mentimur, dan timur telah menyelatan, serta selatan telah mengutara. Apa maksudnya itu, kau tak tahu. Lagipula, apa gunanya bila kau tahu? Yang kau tahu hanya pikiran rasional dan masuk akal, lalu sekarang ini? Apakah hidupmu masuk akal? Kau tidak mau lagi mendengarkan perkataan-perkataan, karena kau harus melepas lelah dan penat dengan tidur, dan harus bangun pagi untuk kembali berjalan, walau tak ada pagi bagimu.

Sejuta pengalaman hidup telah kau telan, tanpa pernah kau muntahkan lagi. Karena apa gunanya memuntahkannya lagi? Kau telah mencari apa yang kau inginkan sedari dulu. Apa kau telah menemukannya? Kau tak menjawab. Bagimu, tak perlulah itu dijawab, karena kau tahu pasti bahwa kau belum menemukannya. Lalu sekarang mau apa kau? Dengan segala ketidak sempurnaan dirimu saat ini?

Setelah kau dengar pertanyaan itu, kau menangis tersedu-sedan, menyesali apa yang telah lalu. Apa gunanya? Lebih baik kau bangkit, tatalah semangatmu, dan berjalan lagi walalu tanpa arti, tanpa tujuan, namun setidaknya itu lebih baik dari menangis.

Kau mengatakan tidak bisa karena kau masih ingin menangis, menikmati tangisan, juga kesedihan. Terserah padamu saja kalau begitu, karena bila kau lihat lagi, tak ada apapun yang sepertimu, yang senang kala diselimuti kesedihan. Kau menghadap langit, mengadu pada bintang yang sudah jelas tidak mendengar karena jauh, juga karena ia memang tidak bertelinga! Kemana perginya pikiran rasionalmu? Apakah kau sudah menyerah pada asa, dan membuang semua gaya nalar usangmu?

Ketika kau tidak lagi percaya pada keajaiban karena menganggap itu kuno, kau tegak angkuh, meskipun itu tak bisa meruntuhkan kesan bahwa kau sebenarnya penggemulai yang hebat. Lalu sekarang? Lalu sekarang? Lalu sekarang? Bisa apa dirimu? Sudahlah, ikuti saja apa hatimu bilang, jangan sombong! Kau memang sudah tidak memegang keadaan akal ilmiah itu lagi, kan?

Lalu kau melangkah lagi sambil menghimpun alasan bahwa segalanya bisa saja masuk akal, seperti bagaimana ceritanya kau bisa sampai dalam kondisi ini. Apa gunanya lagi kau berpegang pada ke-masukakal-an, kala sesuatu yang masuk akal sudah menjauh darimu, tanpa pamit? Akan membaik jadinya kalau kau lepas seluruh kesombongan serta egomu yang luar biasa besar dan keras itu dan berpaling pada apa yang hatimu bilang. Kembalilah, kembalilah. Tak berguna lagi kau berpegang pada ideologi lamamu!

Tak ada fisika, metafisika pun tak ada. Yang ada hanyalah keajaiban tak berakhir, yang sudah tercipta ribuan tahun sebelum kau tercipta. Keajaiban itu tak berujung dalam dirinya, meskipun kau menciptakan ujung baginya. Dan kau sekarang bisa menyebut keajaiban itu dengan sebutan ‘Kata-kata’…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar