Minggu, 19 April 2009

Hikayat Tulang Kambing, Pasar dan Ibu

Nenekku dari pihak Ummah adalah seorang wanita 55 tahun. Cukup muda bagi seorang nenek 8 cucu, dan cucu pertamanya berumur 16 tahun. Beliau bernama Tien—baca: ‘Tiin’, bukan ‘Tien’ seperti nama enci-enci.--, dan aku memanggilnya ‘Ibu’. Kakekku seorang jawa, namanya Arisman. Aku memanggilnya ‘Ayah’. Beliau sudah meninggal pada 21 desember 2007.

Ketika adik keenam-ku lahir, Ibu datang ke Depok, mengunjungi cucu kecilnya. Sudah beberapa hari beliau disini, menemani Ummah-ku, juga menjaga si Adik.

Kemarin, Ummah menyuruhku pergi ke pasar kemiri, pasar terbuka dengan segala tetekbengek kehidupan manusia dan kematian para ayam, kambing, sapi, serta ikan. 100 meter dari rumahku ada pasar tertutup, bersih, tidak terlalu bau pasar, namun harga daging tidak bersahabat. Kalau di Kemiri harga ayam Rp.14.000 , disana, Pasar Baru namanya, bisa mencapai Rp.22.000. Opo ora’ edhan!?

Ibu ikut, segaligus sebagai penawar harga, dan peranku hanya pengantar serta kuli panggul. Tapi, kuli panggul ini tidak kalah necis dari orang kantoran. Dengan membawa sisir berbi -- sisir boneka Barbie adikku yang kucolong untuk sisir betulan-- setelah menyisir rambut gaya Elvis Peterseli,-- tokoh khayalan masa kecilku yang mirip Elvis Presley, aku berangkat.

Perjalanan ditempuh 10 menit naik sepeda motor. Pasar Kemiri dekat dengan rel kereta api, dan kadang-kadang bunyinya memekakkan telinga bila kereta lewat, walaupun para penjaja disana santai saja seolah hanya suara lalat.

Daftar belanjan pertama menunjukkan baha kami harus membeli paha kambing. Tiga buah. Di daftar dituliskan bahwa harga satu paha kambing sekitar Rp.52.000 sampai Rp.55.000, namun si abang kambing, begitu semua orang pasar menyebutnya, memasang harga Rp.60.000!

“55 aja, deh Bang!” kataku.

Ajaibnya, setelah melihat wajah ‘ArJaS’-ku, -- Arab-Jawa-Sunda--, juga wajah Ibu yang sedikit menyerempet wajah Hindi, si abang bilang, “Hatta Ente tawar 58 Ane ga bakal ngasih! Disini udah paling rokhis!” katanya padaku, bukan pada Ibu. Seandainya pada Ibu, sudah kumaki-maki habis bersih, kalau dia akan memukul, kaki radapincang-ku masih kuat menghindar cepat sejauh 5 meter.

“Gharam!!! Orang mana si abang berwajah Batak ini!? Faseh betul bahasa arab-betawinya!”, pikirku. “Ya udah deh, bang! Paha 3 biji, tulangnya pisahin, ga usah dibawa.” Kataku santai selagi Ibu memilih bawang di lapak sebelahnya. Dan transaksi selesai.

Selanjutnya ke tukang ayam, pria ramah berkumis dengan topi, dan celana pendek, dan hanya dia yang Ummah-ku tahu, ayamnya tidak disuntik. Tiga ekor ayam telah kudapatkan, selanjutnya…… Pulaaaannnngggggg!!!!!!

Keluar dari lingkungan pasar, aku berhadapan dengan jalan raya lagi. Lampu hijau tinggal 19 detik lagi ketika kulihat. Dan aku langsung melaju kencang serta menghitung mundur keras-keras. Sontak Ibu bingung. Beliau kira ada sesuatu yang buruk. Kalian tahu? Menunggu lampu merah yang 98 detik itu rasanya satu jam. Dan…….. aku berhasil menerobos lampu hijau yang tinggal 2 detik di saat terakhir.

“Ada apa, sih!?” kata Ibu ketus.

“Ngincer lampu ijo, Bu!” jawabku. Dan beliau mengetak (memukul kepala dengan ruas tengah pada jari tengah), tapi aku bersyukur pada Allah yang mahakuasa – yang telah memberiku makan dan minum dan masih mengizinkanku menghirup udara-Nya, meskipun sudah kotor karena pemanasan global yang ditimbulkan hambanya—karena aku memakai helm ketika itu.

Pulang kerumah, Ummah sudah ada didepan pintu memandikan Nafisah, adik bayiku, dengan sinar matahari sebagaimana bayi lainnya.

“Dapet semua?” tanyanya.

“Iya. Paha kambing tiga, ayam tiga, kan? Terus bawang?”

“Iya. Tulang kambingnya? Kau bawa, ‘kan?”

dan langsung pikiran aneh menyerangku. Tulang? Dibawa? Untuk apa? “Kenapa harus dibawa, Mah!?”

“Apa kau pernah makan gulai yang tidak ada tulang kambing didalam mangkoknya!? Tulang itu bikin gurih!”

Astaghfirullah! Oh my god! Betapa bodohnya aku ini….. tulang paha memang membuat gurih pada gulai!

Akhirnya aku memutuskan kembali lagi ke pasar, Ibu juga ikut lagi setelah kularang. Sampai dipasar yang mahasangatmenyumpekkansekali itu, kami key abang kambing lagi. Ibu meminta tulangnya,”Maaf ya, Bang! Ibu ga tau kalau cucu yang satu ini begitu goblok.” Enggak! Ibuku tidak akan bilang seperti itu. Tadi itu ngarang. Yang aslinya, “Maaf ya, Bang! Tadi ibu nggak sadar kalau tulangnya ketingalan! Saya minta lagi, ya?”

Dan si abang bilang, “Gapapa, Bu! Itu hak ibu sebagai konsumen!” katanya sambil tersenyum. Ternyata si abang kambing tu baek juga, ya? Dan aku pulang kerumah dengan tulang kambing! Tulang kambing! Tulang kambing! Tulang! Tulang! Tulang! Kambing! Kambing! Kambing! Pasar! Pasar! Pasar! Kemiri! Kemiri! Kemiri! Depok! Depok! Depok! Jawad! Jawad! Jawad!


bahasa arab

*hatta: sampai/walaupun

*ente: Anta: kamu(laki2)

*ane: Ana: saya

*rokhis: murah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar